Kisah Nenek di Makassar Hidup dari Sampah, Harus Nafkahi Anak dan Cucu

Setiap hari harus mencari plastik dan botol bekas di kompleks perumahan

Muhammad Yunus
Kamis, 18 Februari 2021 | 16:00 WIB
Kisah Nenek di Makassar Hidup dari Sampah, Harus Nafkahi Anak dan Cucu
Daeng Ngintang memperlihatkan uang hasil tabungan di Bank Sampah / [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Usia Daeng Ngintang sudah renta. Tapi setiap hari harus mencari plastik dan botol bekas di kompleks perumahan warga. Untuk dijual ke Bank Sampah dekat rumahnya.

Nenek 80 tahun itu tak ingin menyusahkan orang di sekelilingnya. Pada usianya yang seharusnya digunakan untuk beristrahat, ia memilih mencari nafkah. Dengan cara memilah sampah plastik dan botol bekas.

Setiap hari Daeng Ngintang menenteng karung berisi sampah. Dari rumahnya di Borong Jambu Mangala dengan berjalan kaki. Sampah itu dibawa ke Bank Sampah Lisana, yang tak jauh dari rumahnya.

Ia datang untuk menabung sampah. Bukan membawa uang, seperti kegiatan menabung pada umumnya. Di Bank Sampah, karung berisi plastik dan kardus yang dibawanya ditimbang.

Baca Juga:Dinas Perpustakaan Makassar Sentuh Pustaka di SD Negeri Borong

Daeng Ngintang kemudian mengeluarkan buku tabungannya yang berwarna putih biru. Untuk dicatat jumlah tabungannya oleh petugas Bank Sampah.

Setiap kilo gram plastik yang dibawa Daeng Ngintang dijual dengan harga Rp 3.000 hingga Rp 6.000. Tergantung kualitas sampah yang dibawa.

Daeng Ngintang (80 tahun) nasabah Bank Sampah Lisana Kota Makassar / [SuaraSulsel.id / Istimewa]
Daeng Ngintang (80 tahun) nasabah Bank Sampah Lisana Kota Makassar / [SuaraSulsel.id / Istimewa]

"Kalau bersih, bisa lebih mahal. Sampai Rp 6.000 per kilo. Terkadang tergantung vendornya juga," kata Direktur Bank Sampah Lisana, Juardi Talli kepada SuaraSulsel.id, Kamis 18 Februari 2021.

Juardi mengaku Daeng Ngintang adalah salah satu nasabah yang aktif. Dia terdaftar sejak tahun 2015.

Sejak saat itu pula, Daeng Ngintang rajin menabung. Jika dikalkulasi, tabungannya sudah mencapai Rp 30 juta hingga kini.

Baca Juga:Gabung Klub Korsel, Kecintaan Asnawi Mangkualam pada Makassar Tak Luntur

"Tapi nenek ambil tiap tahun untuk bayar kontrakan. Karena beliau masih ngontrak," ujarnya.

Daeng Ngintang hanya menggantungkan hidupnya dari mengumpulkan sampah. Jika ada botol minuman bekas, ia akan memungutnya dan dimasukkan ke dalam karung.

Setelah terkumpul penuh, ia akan membawanya sendiri ke Bank Sampah. Bank Sampah Lisana melakukan penimbangan dua kali dalam sebulan.

Kegiatan rutin ini dilakukan Daeng Ngintang selama kurang lebih enam tahun. Karena suaminya sudah meninggal.

Kini, ia tinggal bersama anak dan cucunya. Beban hidup semakin terasa berat karena anaknya sakit stroke dan cucunya memiliki kebutuhan khusus.

"Sementara nenek ini harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga setiap hari. Dia tulang punggung keluarga," ujar Juardi.

Daeng Ngintang (80 tahun) nasabah Bank Sampah Lisana Kota Makassar / [SuaraSulsel.id / Istimewa]
Daeng Ngintang (80 tahun) nasabah Bank Sampah Lisana Kota Makassar / [SuaraSulsel.id / Istimewa]

Juardi berharap ada perhatian dari pemerintah terhadap Nenek Ngintang. Di usianya yang sudah renta, Nenek Ngintang harusnya sudah istirahat.

Menurutnya, dari Daeng Ngintang kita bisa belajar bahwa sampah juga ternyata memiliki nilai ekonomi.

Direktur Yayasan Peduli Negeri Saharuddin Ridwan mengatakan, nenek Ngintang telah menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan. Dengan memilah sampah kemudian membawanya ke bank sampah untuk ditabung.

"Subhanallah uang hasil tabungan sampahnya selama setahun digunakan untuk bayar kontrakan rumahnya. Sehatki terus Daeng Ngintang. Sukses Pak Juardi Talli selaku Direktur Bank Sampah Lisana Manggala. Semoga menjadi contoh betapa pentingnya menjaga lingkungan, meningkatkan kepedulian sosial dan memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat," kata Saharuddin.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini