Penyandang Disabilitas Membaca UU Cipta Kerja, Responnya Mengecewakan

Jaringan Organisasi Difabel atau Penyandang Disabilitas mengemukakan sepuluh alasan menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja

Muhammad Yunus
Selasa, 13 Oktober 2020 | 08:09 WIB
Penyandang Disabilitas Membaca UU Cipta Kerja, Responnya Mengecewakan
Mahasiswi Universitas Nottingham Trent menggelar fashion show khusus busana penyandang disabilitas. (Dok. Nottingham Trent University)

Selain itu, UU Cipta Kerja telah melakukan “kejahatan epistemik” dengan masih mengusung istilah cacat bagi penyandang disabilitas.

Paradigma cacat tersebut sangat bertentangan dengan gerakan disabilitas yang selama ini mengusung terciptanya cara pandang terhadap penyandang disabilitas model sosial dan hak asasi manusia.

Melihat disabilitas sebagai akibat dari operasi masyarakat dan tidak dipenuhinya hak-hak penyandang disabilitas.
Penyebutan istilah “cacat” sebagaimana tercantum dalam revisi Pasal 46 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; revisi Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; penambahan Pasal 153 serta 154a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan penjelasan dari revisi Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, merupakan bentuk pengabaian dari ketentuan dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 yang menyatakan bahwa, “istilah penyandang cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU ini berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai penyandang disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini”.

Selain itu, penggunaan istilah “cacat” juga bertentangan dengan semangat yang dibangun dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Right of Person with Disabilities) yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.

Baca Juga:Rekayasa Lalu Lintas Agar Tak Terjebak Macet Demo FPI Tolak UU Cipta Kerja

Bukan hanya menggunakan istilah cacat, bahkan UU Cipta Kerja juga menambahkan satu syarat yang dapat menjadi alasan bagi pemberi kerja untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, yaitu tercantum dalam revisi Pasal 154A huruf l UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa “Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan : l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan”.

Pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut adalah diskriminatif, dapat merugikan penyandang disabilitas, dan jauh dari semangat mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif.

Karena seseorang yang menjadi penyandang disabilitas dalam dunia pekerjaan seharusnya masuk dalam skema program kembali bekerja, seperti dialihkan ke pekerjaan lain atau penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk mendukungnya tetap dapat bekerja tanpa hambatan.

Nurul menambahkan, sebetulnya ada anggota DPR yang dulu juga membahas Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016.

Tapi kemudian sangat disayangkan sekali, karena saat anggota dewan tersebut membahas UU Cipta Kerja ini, tidak memasukkan pasal-pasal yang sangat penting di UU nomor 8 tahun 2016 dan masih menggunakan istilah cacat juga.

Baca Juga:Buruh Curiga Jokowi Akan Intervensi Gugatan UU Cipta Kerja ke MK

“Jadi menurut saya, ini bukan hanya pengabaian, tapi ini juga penghianatan dari wakil rakyat kita," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini