SuaraSulsel.id - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) RI kecewa dengan sikap pengadu bernama Fadhila Amalia.
Sebab, dalam sidang kode etik, Fadhila Amalia ingin mencabut laporan terhadap lima orang Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Maros.
Fadhila diketahui merupakan calon Anggota PPS Kabupaten Maros, melaporkan lima Anggota KPU Maros, terkait dugaan pelanggaran kode etik.
Lima Anggota KPU Maros tersebut masing-masing, Ketua KPU Maros Samsul Rizal dan Anggota KPU Maros Umar, Syahruddin, Mujaddid, dan Meilany.
Baca Juga:Sempat Dipecat, Evi Novida Kembali Jadi Komisioner KPU
Mereka dilaporkan karena dianggap tidak profesional dalam memilih anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Hanya saja, dalam persidangan kode etik yang digelar di Kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulsel, Jalan Andi Pangeran Pettarani, Kota Makassar, Jumat (18/9/2020), Fadhila Amalia malah justru ingin mencabut laporannya.
Padahal, Anggota DKPP RI sudah serius menanggapi laporan Fadhila Amalia terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik tersebut.
Fadhila berdalih, ingin mencabut laporan pengaduan pelanggaran kode etik tersebut karena orang tuanya melarang atau keberatan.
"Kami tim itu 12 orang loh yang ke sini. Kerugian negara yang sangat tinggi sekali. Bagaimana sampai di sini, sudah serius dilakukan verifikasi kormil, material. Tiba-tiba dicabut. Jangan main-main saya bilang gitu," kata Anggota DKPP RI, Prof Teguh Prasetiyo saat ditemui di Kantor Bawaslu Sulsel, Jumat (18/9/2020).
Baca Juga:Temui Mendagri, Ketua DKPP Lapor Putusan Pemberhentian eks Komisioner KPU
Teguh Prasetiyo menegaskan meskipun Fadhila Amalia ingin mencabut laporannya, namun DKPP RI tidak terikat pada pencabutan pengaduan. Oleh karena itu, sidang kode etik pun tetap dilakukan.
"Jangan main-main saya beri pesan pada semua warga Indonesia, karena ini kan live streaming. Kalau mengadu ke DKPP harus dipikir yang matang-matang. Akhirnya silahkan saudara cabut, tapi DKPP tidak terikat pada itu," tegas Teguh.
Teguh menjelaskan dalam persidangan DKPP RI mendengar aduan Fadhila Amalia dan para saksi. Tujuannya, adalah untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya mengenai adanya laporan pelanggaran kode etik KPU Maros saat pemilihan anggota PPS.
"Kita mendengar aduan kemudian kita dengar saksinya yang menyaksikan, bahwa yang pihak terpilih itu ada foto di posko kemenangan, kemudian itu di rumah beliau juga ada poster kemenangan pakai seragam. Kita klarifikasi di pihak terkait di Bawaslu Maros kemudian teradu juga kita periksa semua," kata dia.
"Jadi sidang di sini hanya mencari fakta di lapangan terhadap aduan tadi," Teguh menambahkan.
Teguh mengaku belum dapat memberikan keterangan apakah dalam sidang tersebut lima komisioner KPU Maros ada indikasi pelanggaran kode etik atau tidak.
"Temuan sementara belum bisa. Kita hanya mengumpulkan data dulu untuk mencari pembenaran apakah ada pelanggaran etik atau tidak," katanya.
Perkara tersebut, lanjut Teguh, akan dibawa ke sidang DKPP RI untuk dipaparkan, lalu kemudian diambil sebuah keputusan.
"Karena DKPP yang menilai kalau dianggap sudah cukup bukti, kemudian diambil satu putusan. Kalau dianggap belum, ada sidang lanjutan lagi seperti itu," katanya.
Ketua KPU Maros Samsul Rizal menjelaskan dalam persidangan kode etik, pihaknya sebagai teradu sudah menyampaikan kepada DKPP RI terkait proses-proses dalam merekrut anggota PPS. Termasuk dasar hukum dalam penetapan dan pelantikan.
"Saya sudah jelaskan juga bagaimana sikap saya terhadap dugaan pelanggaran kode etik, dan teman-teman juga sudah menyampaikan sikapnya dalam mengambil keputusan terkait dengan pelanggaran kode etik itu," jelas Samsul.
Samsul mengemukakan dalam proses perekrutan anggota PPS, KPU Maros mendapat tanggapan dari masyarakat terkait salah satu calon anggota PPS atas nama Nurul Fadillah Al Dafisa diduga terlibat dalam tim sukses salah satu bakal calon pada Pilkada 2020.
Dari situ, Nurul Fadillah Al Dafisa diumumkan lolos sebagai anggota PPS di Kelurahan Alliritengae, Kecamatan Turikale, Kabupaten Maros, Sulsel, pada 20 Maret 2020.
Pengadu yang merasa ada kejanggalan dengan pemilihan anggota PPS tersebut kemudian melapor ke Panwascam Turikale pada 24 Maret 2020. Hanya saja, Nurul Fadillah Al Dafisa tetap dilantik pada 26 Juli 2020.
"Diduga ada PPS yang memiliki afiliasi kepentingan politik. Jadi mekanismenya itu memang sempat pelantikannya ditunda, tapi setelah dilakukan klarifikasi dalam rapat pleno itu diputuskan bahwa yang bersangkutan bersyarat untuk dilantik kembali," katanya.
Kontributor : Muhammad Aidil