Muhammad Yunus
Kamis, 20 November 2025 | 11:34 WIB
Ilustrasi: prosesi upacara pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) di Halaman Mapolrestabes Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (27/10/2025) [Suara.com/Dokumentasi Polrestabes Makassar]
Baca 10 detik
  • Bripda Fauzan Nur Mukhti diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) untuk kedua kalinya oleh Polda Sulsel pada 19 November 2025.
  • Sanksi PTDH ini dijatuhkan karena adanya dugaan penelantaran dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap istrinya.
  • Sebelumnya, Bripda F lolos dari pemecatan tahun 2023 setelah menikahi korban perkosaan yang telah ia lakukan.

"Dia pernah membuat surat pernyataan bahwa dia akan bertanggung jawab terhadap pacaranya, yang sekarang istrinya. Itu yang jadi pertimbangan saat banding. Tapi fakta berikutnya dia mengingkari isi perjanjian itu," kata Zulham.

Dalam pernikahan yang berlangsung pada Desember 2023, Bripda F justru kembali melakukan pelanggaran.

Ia diduga tidak memberikan nafkah lahir-batin dan meninggalkan istrinya setelah hari pernikahan. Laporan penelantaran dan KDRT kemudian diajukan korban ke Polda Sulsel.

"Dia mengulangi perbuatan menelantarkan istrinya dan tidak memberikan nafkah. Itu fakta persidangan yang kita dapat," tambah Zulham.

Meski dijatuhi PTDH, Zulham menegaskan Bripda F tetap memiliki hak untuk mengajukan banding.

"Silakan kalau merasa ada putusan yang tidak sesuai. Dari Propam tidak ada kepentingan menahan upaya hukum," ujarnya.

Selain sanksi etik, Bripda Fauzan juga tengah menjalani proses hukum pidana. Ia ditetapkan sebagai tersangka pada Juli 2025.

Polisi menjeratnya dengan Pasal 9 ayat (1) junto Pasal 49 dan Pasal 5 huruf b junto Pasal 45 terkait tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga serta kekerasan psikis.

Panit 2 Subdit 4 Renakta Ditreskrimum Polda Sulsel, Ipda Mahayuddin Law, mengungkapkan bahwa ancaman hukuman untuk tindak pidana tersebut masing-masing tiga tahun penjara.

Baca Juga: Alasan Sebenarnya Dua Guru ASN Luwu Utara Dipecat Tidak Hormat, Ternyata Kasus Hukum Ini!

"Penelantaran diancam tiga tahun penjara dan denda Rp15 juta. Kekerasan psikis ancamannya tiga tahun dan denda Rp9 juta," ujarnya.

Penelantaran itu disebut terjadi sejak pernikahan mereka pada Desember 2023. R melaporkan peristiwa itu pada Juli 2024 setelah merasa tidak mendapat nafkah maupun perhatian.

"Dalam rentang waktu itu, terjadi penelantaran oleh tersangka. Demikian halnya kekerasan psikis yang dialami korban," kata Mahayuddin.

* Menikahi Korban Demi Lolos PDTH

Kuasa hukum R, Muhammad Irvan menyoroti fakta bahwa pernikahan kliennya justru dijadikan dasar untuk mengubah sanksi berat pada 2023.

Ia menduga pernikahan tersebut dilakukan hanya untuk menyelamatkan karier Bripda F.

Load More