Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Senin, 29 Mei 2023 | 10:41 WIB
Sidang kasus dugaan tindak pidana korupsi PDAM Makassar digelar secara virtual di Pengadilan Negeri Makassar, Senin, 29 Mei 2023 [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar menolak nota keberatan atau eksepsi dari terdakwa Haris Yasin Limpo atas perkara dugaan tindak pidana korupsi di PDAM Makassar. Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghadirkan saksi ke persidangan.

Demikian juga eksepsi terhadap mantan Direktur Keuangan PDAM Makassar Irawan Abadi. Hakim menolak nota keberatan yang disampaikan terdakwa dan kuasa hukumnya.

"Mengadili, menyatakan keberatan atau eksepsi tim penasehat hukum terdakwa tidak diterima," ujar ketua Majelis Hakim Hendri Tobing di ruang Harifin Tumpa Pengadilan Negeri Makassar, Senin, 29 Mei 2023.

Hakim menyatakan surat dari penuntut hukum telah memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana yang diatur dalam pasal 143 ayat 2 huruf a dan h KUHP.

Baca Juga: Adik Menteri Pertanian Jalani Sidang Perdana Kasus Dugaan Korupsi PDAM Makassar Rp20 Miliar

Sehingga, majelis hakim memerintahkan kepada penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara atas kedua terdakwa.

"Dakwaan penuntut umum pada masing-masing pihak sudah diuraikan secara jelas dan lengkap," ungkap hakim Hendri.

Persidangan selanjutnya akan digelar pada Senin, 5 Juni 2023 dengan agenda pembuktian atau pemeriksaan saksi.

Diketahui, Haris Yasin Limpo, mantan Direktur Utama PDAM merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi di PDAM Makassar yang disebut merugikan negara sekitar Rp20 miliar.

Ia diduga bersama-sama dengan Direktur Keuangan pada masanya, Irawan, melakukan korupsi pada tahun 2016-2019.

Baca Juga: Curhat Syahrul Yasin Limpo Usai Adiknya Ditetapkan Tersangka Korupsi: Hati Saya Menangis

Keduanya didakwa pasal primer 2 ayat 1 junto pasal 12 huruf a UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Perbuatan terdakwa juga melanggar Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Pembelaan Haris Yasin Limpo

Mantan Direktur PDAM Makassar, Haris Yasin Limpo sempat menyebut nama eks auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Sulawesi Selatan Wahid Ikhsan Wahyuddin dalam nota pembelannya.

Diketahui, Wahid adalah terpidana kasus dugaan suap di Dinas PU dan Tata Ruang Pemprov Sulsel. Saat ini divonis hukuman penjara tujuh tahun oleh pengadilan.

Kini, Wahid juga diduga terlibat pula di kasus yang menjerat adik Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo itu.

Dalam eksepsi itu disebut kasus ini sebenarnya berawal dari hasil pemeriksaan BPK RI Sulsel tahun 2018. Saat itu, pemeriksaan dipimpin oleh auditor BPK, Wahid Ikhsan Wahyudin.

Dalam pembelaan Haris, Wahid disebut mengeluarkan rekomendasi soal pembayaran deviden, pembayaran tantiem, dan bonus pegawai, serta penggunaan kas PDAM untuk biaya pensiun.

Pemeriksa menggunakan acuan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, seperti pada Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara ini. Sedangkan PDAM menggunakan acuan Perda Kotamadya Ujungpandang No 6 Tahun 1974.

Haris kemudian menjelaskan bahwa perbedaan perhitungan terjadi karena adanya pandangan terhadap kedudukan hukum (legal standing) PDAM Kota Makassar ketika itu.

Yaitu PDAM Kota Makassar saat itu belum berbentuk Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), (4), dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017.

"Rezim hukum yang mengikat PDAM Kota Makassar ketika itu adalah masih sebagai Perusahaan Daerah yang dibentuk berdasarkan UU No 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah Jo Perda Kotamadya Ujungpandang No 6 Tahun 1974," ujar Haris Yasin Limpo yang diwakili kuasanya hukumnya, Iur Yasser.

Namun sanggahan Haris Yasin Limpo ke Wahid Ikhsan Wahyudi ditanggapi nyeleneh. Wahid bilang Direksi PDAM harus mengerti.

"Dia (Wahid) bilang, tidak masalah kalau direksi PDAM mau mengerti," ujarnya.

Kuasa hukum menilai, kata-kata itu aneh dan bisa saja diartikan jebakan untuk melakukan gratifikasi. Direksi PDAM pun saat itu tidak menanggapi lebih lanjut.

"Sehingga tidak lama kemudian, keluarlah Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI yang pada pokoknya menyatakan adanya kelebihan pembayaran mengenai masalah tersebut," lanjutnya.

Atas LHP tersebut, maka terdakwa bersama Direksi PDAM lainnya melakukan konsultasi kepada pimpinan BPK RI di Jakarta. Mereka menjelaskan pemahaman mereka mengenai perbedaan rezim hukum yang mengikat PDAM.

Konsultasi ini kemudian dipahami oleh pimpinan BPK RI, yang selanjutnya hal-hal yang dimaksud dalam LHP BPK tersebut dicatatkan dalam kolom sebagai kategori "Tidak Dapat Dilanjutkan dengan Alasan yang Sah".

"Ketika dalam perkara ini kembali dipermasalahkan dugaan kerugian negara yang sama berdasarkan PP No 54 Tahun 2017 tersebut, dimana dulu penyebabnya karena Direksi PDAM tidak mau 'mengerti', maka wajar jika penasehat hukum tetap mewaspadai kemungkinan jika penyidik dan penuntut umum hanya terpukau setelah membaca dokumen 'sampah' yang berasal dari LHP BPK yang tujuan sebenarnya memaksa untuk dimengerti tersebut," jelas Iur.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More