Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Kamis, 17 Maret 2022 | 14:00 WIB
Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo diberi gelar profesor kehormatan dari Universitas Hasanuddin, Kamis 17 Maret 2022 [SuaraSulsel.id/Istimewa]

Pimpinan negara perlu memahami hukum tata negara agar tidak salah mengambil kebijakan negara yang berbeda dengan kebijakan pemerintahan, sebab kalau tidak maka hal inilah yang membuat arahan untuk mencapai kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia sulit terwujud.

Kepemerintahan saya pahami sebagai sesuatu yang kompleks, karena ia melibatkan interaksi dari banyak komponen, interaksi dari banyak komponen itu memunculkan ciri volatilitas, ketidakpastian, dan ambiguitas. Kompleksitas adalah bagian dari VUCA (volatility, uncurtainty, complexity, ambiguity) yang tengah melanda dunia.

Dunia telah mengalami disrupsi akibat revolus industri 4.0, dampak pandemik Covid-19, perubahan iklim, konflik global, dan berbagai situasi turbulensi pada bidang ekonomi dan sosial. Kita tentu sepakat bahwa kita harus mampu merespons perubahan yang cepat dan dipercepat ini, yang bisa membuat kita gamang menghadapinya bila tidak benar-benar siap. Untuk itu, peranan hukum tata negara yang adaptif dengan kearifan lokal semakin penting dikuasai oleh penyelenggara negara.

Hadirin yang saya muliakan,

Baca Juga: Banyak Dapat Ilmu di Warung Kopi, Syahrul Yasin Limpo: Saya Profesor Lapangan

Saya ingin memulai pidato ini dengan meneropong hukum tata negara dalam kaitannya dengan praktek kepemerintahan. Secara ontologis, perkembangan pemikiran hukum tata negara di Indonesia adalah warisan hukum Eropa Kontinental yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda.

Secara epistemologis, hukum tata negara ini mengikuti tradisi paradigma positivisme, yang merupakan main-stream di tanah asalnya. Sebagaimana karakteristik paradigma positivistik, ia selalu memandang sesuatu sebagai hasil dari positivisasi. Hukum dipandang sebagai tumpukan dari norma-norma yang telah dirundingkan oleh warga masyarakat, sebagai sistem aturan yang bersifat otonom dan netral.

Perkembangan ilmu hukum semacam ini mendapat dukungan kuat dari kaum academic jurists, pada komunitas inilah tumbuh kewenangan akademik dan profesional dalam menginterpretasi hukum. Arah selanjutnya, komunitas ini mendorong tatanan hukum yang kukuh lan rasional.

Inilah obsesi paradigma positivisme. Paradigma ini berusaha terus memapankan bangunan hukum menjadi lebih rasional dan logis. Namun demikian, dominasi pemikiran hukum tata negara positivistik ini telah mendapat tantangan dari pemikiran yang menempatkan studi hukum tata negara pada konteks yang lebih luas dan dinamis, tidak pada perundang-undangan semata-mata.

Dengan kata lain, hukum tata negara harus semakin memiliki keselarasan dengan logika sosial, politik dan budaya masyarakat. Akan tetapi, pemikiran hukum berbasis struktur sosial dan budaya masyarakat ini, masih tetap merupakan suara pinggiran.

Baca Juga: Ketua Dewan Profesor Unhas: Syahrul Yasin Limpo Tidak Dapat Gelar Profesor Kehormatan

Saya berpendapat, gambaran hukum tata negara selama ini kurang cukup untuk menjelaskan situasi hukum di Indonesia. Kita membutuhkan teori hukum yang disamping bisa memberikan outline hukum di Indonesia, juga dapat menjelaskan keadaan hukum dalam masyarakat secara seksama dan proporsional. Karena saya berkeyakinan, hukum nasional kita sesungguhnya bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa.

Load More