Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Rabu, 25 Agustus 2021 | 10:07 WIB
Warga Afghanistan pertama meluapkan rasa saling berpelukan usai tiba di Bandara Frankfurt, Jerman setelah melalui perjuangan menakutkan agar bisa meninggalkan bandara Kabul. (Foto: AFP)

Menurutnya, tak ada yang berbeda antara pemerintahan Taliban dan Presiden sebelumnya, Ashraf Gani. Keduanya sama-sama kejam.

Mereka menyerang masyarakat sipil. Dalihnya untuk kepentingan agama, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan nilai keislaman. Mereka membenarkan pertumpahan darah.

Sebagai masyarakat sipil, ia mengaku pasrah. Kini, ia tak ingin pulang ke negaranya.

Menurutnya, warga Afghanistan hanya punya dua pilihan. Melarikan diri atau bertahan menunggu kematian di dalam rumah.

Baca Juga: Biaya Tes PCR di Rumah Sakit Daya Makassar Rp 500 Ribu, Untuk Syarat Perjalanan

"Saya bangga bisa meninggalkan negara yang seperti kota mati. Dipenuhi ketakutan terhadap pemerintah atau pemberontak Taliban," keluhnya.

Abdul sudah delapan tahun berada di Makassar. Ia berharap kelak ada negara yang mau mengakuinya.

Dulu, ia mengajukan permohonan menjadi pencari suaka ke eropa seperti Jerman dan Swiss. Namun, seleksi oleh organisasi Internasional, United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) cukup ketat.

Hal tersebut yang membuatnya terpisah dengan keluarga besarnya. Sebab, tidak semua pengajuan bisa disetujui oleh UNHCR.

Ia pun diberi izin mengungsi ke negara Indonesia. Selama di Indonesia, sangat tenang dan nyaman.

Baca Juga: Usai Demo Ricuh Ratusan Imigran Afghanistan, Kantor UNHCR Disemprot Disinfektan

Kendati demikian, gerak ruang mereka dibatasi. Tak bisa bekerja dan mendapatkan pendidikan.

Load More