Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Selasa, 24 November 2020 | 10:08 WIB
dr. Adnan Ibrahim, sp.PD., Sp.P / [Foto: Istimewa]

SuaraSulsel.id - Duka mendalam terus menyelimuti tenaga medis di Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat ada 168 dokter yang meninggal dunia karena terpapar Covid-19.

Tak terkecuali di Sulawesi Selatan. Angka kematian dokter karena terinveksi corona di daerah ini terbilang tinggi. IDI Sulawesi Selatan mencatat, sejak 9 Maret hingga 20 November, ada tujuh dokter yang dinyatakan meninggal akibat Covid-19.

Angka ini terus menambah daftar panjang gugurnya tenaga medis di Indonesia.

Berikut 7 dokter di Sulawesi Selatan yang gugur melawan Covid-19, dirangkum SuaraSulsel.id:

Baca Juga: Dinas Pendidikan Usulkan 11.565 Honorer di Sulsel Jadi Guru PPPK

1. dr. Bernadette Albertine Francisca, T,Sp. THT-KL

Ia adalah dokter spesial ahli THT senior. Meninggal dalam status pasien dalam pengawasan (PDP) di RS DR Wahidin Sudiro Husodo karena diduga terpapar dari pasien. Sebelumnya, ia dirawat di RS Awal Bros, tempat dimana almarhumah bekerja.

Dr Bernadette juga dokter pertama yang meninggal dunia di Kota Makassar akibat terpapar virus corona (Covid-19). Meninggal pada 4 April 2020 dan dimakamkan secara Covid-19 di Pemakaman Umum Panaikang. Saat itu, Pemprov belum menetapkan lokasi pemakaman umum untuk korban Covid-19.

Sebelumnya, foto dr Bernadette sempat viral di media sosial. Sehari sebelum dirawat di rumah sakit, ia masih bertugas menggunakan alat pelindung diri (APD) dari jas hujan. Minimnya APD kala itu membuat nakes harus melindungi diri, bahkan banyak sampai menggunakan jas hujan.

dr. Bernadette Albertine Francisca, T,Sp. THT-KL / [Foto: Istimewa]

2. dr. Herry Demokrasi Nawing, Sp.A

Baca Juga: Terbukti Minum Bir, Pegawai Rumah Sakit Haji Sulsel Akan Kena Sanksi Ini

Akrab disapa Pakde Herry. Almarhum pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang Sulawesi Selatan periode 2011-2014.

Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin itu adalah dokter anak yang cukup dikenal di Kota Makassar. Sehari-hari, ia juga bertugas di RS Wahidin.

3 Juli 2020, dr Herry menghembuskan nafas terakhirnya di RS Wahidin Sudiro Husodo. Di mata para dokter dan pasien, almarhum dikenal ramah dan baik. Kepribadiannya yang selalu tepat waktu membuat dirinya disegani oleh orang-orang sekitarnya.

Di media sosial, dr Herry juga dibuatkan blog berjudul, "terima kasih dr Herry". Mereka yang mengenal almarhum diminta untuk menulis kesan-kesannya di laman tersebut.

3. Prof. dr. Andi Arifuddin Djuanna, Sp.OG(K)

Guru besar Unhas itu adalah ahli kandungan. Almarhum juga menjabat sebagai Kepala Departemen Obstetry dan Gynecology (Obgyn) di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Prof Andi menghembuskan nafas terakhirnya pada 16 Juli 2020. Ia berjuang melawan Covid-19 selama 20 hari sebelum dinyatakan meninggal dunia.

Tak diketahui jelas kapan dan dimana Prof Andi tertular. Di mata banyak orang, beliau dianggap sesepuh dan sangat dihormati.

Prof. dr. Andi Arifuddin Djuanna, Sp.OG(K) / [Foto: Istimewa]

4. dr. Adnan Ibrahim, sp.PD., Sp.P

Almarhum adalah salah satu dokter ahli penyakit dalam terbaik di Kota Makassar. Ia dinyatakan meninggal dunia pada 14 Agustus 2020 lalu di RS Wahidin Sudiro Husodo.

Selama dirawat, dr Adnan disebut tak pernah meninggalkan ibadahnya. Meski mesin ventilator menyingkap di saluran pernafasannya, ia masih menyempatkan salat.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, almarhum juga masih meminta waktu sejenak, untuk salat subuh di atas ranjang dua rakaat. Foto tersebut beredar di media sosial, termasuk disebar oleh Humas IDI Kota Makassar.

Seolah menjadi pertanda untuk kepergiannya, Almarhum bahkan berpesan ke sahabat-sahabatnya agar kelak mereka mencarinya di akhirat bila ia tak beruntung (sembuh).

dr. Adnan Ibrahim, sp.PD., Sp.P / [Foto: Istimewa]

5. dr. Theodorus Singara, Sp.KJ

Dokter spesialis kedokteran jiwa itu sehari-harinya bekerja di RS Stella Maris Makassar. Ia meninggal dunia pada 4 Juli 2020.

Almarhum juga merupakan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.

Pengabdiannya pada dunia pendidikan, ia salurkan lewat kegiatan mengajar sebagai dosen dan menjadi Ketua Program Studi Bagian Psikiatri FK Unhas pada masanya.

Atas dedikasinya mengabdi sebagai PNS Pemprov, ia pernah dianugerahi penghargaan Satyalencana Karya XX tahun 2013 oleh Presiden RI.

6. dr Muhammad Rum Limpo, Sp.B

Dokter Rum meninggal dunia 26 Agustus 2020. Ia ditemukan dalam keadaan tidak sadar di tempat praktiknya oleh tetangga.

Dua minggu dirawat di RS Wahidin Sudiro Husodo, beliau dinyatakan meninggal dunia karena Covid-19. Dedikasinya yang tinggi menjadi luka mendalam bagi warga Kepulauan Selayar.

Dokter Rum adalah salah satu dokter yang disegani di Kabupaten Selayar. Dia juga disebut dokter bedah paling handal. Sehari-hari, ia bertugas di RSUD KH. Benteng.

dr Muhammad Rum Limpo, Sp.B / [Foto: Istimewa]

7. Dokter NN

IDI Kabupaten Bone memilih menginisialkan namanya. Permintaan pihak keluarga jadi pertimbangannya.

Kabag Humas IDI Kabupaten Bone, Yusuf mengaku salah satu anggotanya meninggal dunia setelah dinyatakan Covid-19. Inisialnya dr N (61). Almarhum sebelumnya dirawat di RS Wahidin Sudiro Husodo.

Ia juga disebut sebagai dokter senior yang cukup dikenal masyarakat. Selama ini ia fokus memberi layanan kesehatan di praktik mandiri rumahnya. Tak lagi bekerja di rumah sakit.

Dokter NN meninggal dunia pada 20 November lalu. Di mata koleganya, ia dikenal ramah dan sangat baik.

Sementara, Ketua Tim Ahli Data dan Epidemiologi Gugus Tugas Sulsel, Prof Ridwan Aminuddin mengaku angka kematian tenaga medis di Sulawesi Selatan memang cukup tinggi. Mereka yang berada di garda terdepan untuk melindungi masyarakat bahkan harus menjadi korban.

"Angka 7 (dokter) itu tinggi, karena ini bicara soal nyawa. Banyak faktor kenapa mereka tertular," kata Ridwan, Selasa (24/11/2020).

Salah satunya adalah alat pelindung diri yang sangat minim di awal kasus. Kasus Covid-19 sendiri mulai terdeteksi di Sulsel pada bulan Maret lalu.

Saat itu, kata Ridwan, APD sangat sulit diperoleh. Bahkan harus diimpor. Tak sedikit dari para nakes memakai pelindung seadanya, seperti jas hujan.

"APD untuk para tenaga kesehatan pada saat itu setengah mati didapat. Tidak sebanding dengan jumlah kasus yang terus naik setiap harinya," tambahnya.

Faktor kelelahan juga jadi alasan lain. Banyak dari tenaga medis yang bekerja bahkan harus 24 jam, karena jumlah tenaga medis dan korban timpang. Jika lelah, maka imun bisa turun. Virus dengan mudah bisa menyerang.

"Selain itu jaga jarak di antara pasien dan dokter atau nakes sulit dihindari. Karena memang harus kontak langsung. Ya itu tadi karena APD pada saat itu sangat minim," katanya.

Ketua Tim Mitigasi PB IDI Ari Kusuma Januarto mengatakan harus ada kerjasama dari pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan.

Selain mencegah penyebaran virus corona, upaya tersebut juga dinilai bisa membuat para tenaga medis dan tenaga kesehatan melanjutkan pekerjaan penting tanpa mempertaruhkan nyawa.

"Tidak hanya masyarakat, namun kami juga menginginkan pandemi ini cepat berlalu. Situasi ini tidak akan pernah selesai apabila tidak ada kerjasama penuh dari masyarakat sebagai garda terdepan," kata Ari.

Kendati begitu, kasus kematian dokter akibat Covid-19 yang melampaui 160 orang ini sejurus juga menjadi pelecut bagi tenaga kesehatan untuk lebih mawas diri. Ia pun pun meminta pemerintah lebih serius merespons kematian demi kematian dokter.

Misalnya, dengan memikirkan jaminan penuh penyediaan dan kecukupan Alat Pelindung Diri (APD), pengurangan jam kerja, hingga pemberian insentif khusus baik untuk tenaga kesehatan yang sedang bertugas maupun keluarga tenaga kesehatan yang wafat.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More