Insinerator Dilarang: Daerah Kalang Kabut Atasi Ledakan Sampah Medis

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melarang penggunaan insinerator sebagai metode pemusnahan sampah

Muhammad Yunus
Senin, 29 September 2025 | 13:20 WIB
Insinerator Dilarang: Daerah Kalang Kabut Atasi Ledakan Sampah Medis
Ilustrasi insinerator sampah di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Senin (23/6/2025) [Reza/Suara.com]
Baca 10 detik
  • Banyak daerah menggunakan insinerator kebingungan menangani sampah
  • Pada 2024, DLH mencatat total timbulan sampah di Makassar sudah menembus lebih dari 4,1 juta ton
  • Limbah medis juga terus meningkat

SuaraSulsel.id - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan larangan penggunaan insinerator sebagai metode pemusnahan sampah.

Kebijakan ini menimbulkan dilema bagi daerah yang selama ini masih mengandalkan insinerator. Khususnya dalam pengelolaan limbah medis.

Jika aturan itu diberlakukan secara penuh, pemerintah daerah diprediksi akan kesulitan mencari solusi alternatif.

Padahal, volume sampah terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk, meningkatnya aktivitas ekonomi, serta pola hidup konsumtif masyarakat.

Baca Juga:Peraturan Presiden Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Selesai

Selama ini, pola pengelolaan sampah di Indonesia masih mengandalkan sistem klasik. Kumpul, angkut, lalu buang.

Sampah rumah tangga dikumpulkan, diangkut dengan truk, lalu ditumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA). Pola lama ini kini terbukti tidak lagi efektif mengatasi ledakan sampah.

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar, jumlah produksi sampah pada 2021 diperkirakan mencapai 868 ton per hari. Angka itu meningkat cukup signifikan pada 2022, menjadi 905 ton per hari.

Tren tersebut tidak berhenti. Pada 2024, DLH mencatat total timbulan sampah di Makassar sudah menembus lebih dari 4,1 juta ton.

Perhitungan DLH menyebut, setiap warga Kota Makassar menghasilkan sampah rata-rata 0,6 kilogram per hari.

Baca Juga:Makassar Harus Perkuat Tata Kelola Sampah: Mulai dari Rumah Hingga TPA

Dengan jumlah penduduk sekitar 1,5 juta jiwa, maka timbulan sampah yang masuk ke TPA Antang bisa mencapai 1.100 ton per hari.

Angka ini hanya untuk sampah rumah tangga saja. Belum termasuk limbah medis yang juga kian meningkat.

Kepala UPTD Pengelolaan Limbah B3 DLHK Sulsel, Irnawaty Hatta menjelaskan, pihaknya mampu mengelola limbah medis maksimal 1,8 ton per hari.

Limbah itu berasal dari berbagai fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang telah bekerja sama dengan UPTD.

"Tantangan terbesarnya ada di tahap awal. Pemilahan limbah medis di sumber penghasil sulit dilakukan. Belum lagi biaya operasional incinerator yang tinggi," kata Irnawaty, Senin, 29 September 2025.

Ia menekankan bahwa penanganan limbah medis membutuhkan perlakuan khusus sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2021 tentang pengelolaan limbah B3.
Aturan tersebut mencakup alur sejak limbah dihasilkan, diangkut, diolah, pengelolaan residu, hingga pengiriman ke pihak ketiga.

Adapun alur pengelolaan limbah B3 medis dimulai dengan pemilahan sesuai jenis, lalu dikemas dan disimpan di tempat penyimpanan sementara (TPS).

Data timbulan limbah juga dicatat dalam logbook atau aplikasi SPEED KLHK.

Sebelum masa simpan berakhir, limbah wajib diserahkan ke pihak ketiga untuk dikelola lebih lanjut oleh transporter berizin.

Transporter tersebut kemudian mengangkut limbah ke UPTD PLB3 untuk dimusnahkan.

Hingga kini, metode insinerator masih dianggap paling efektif dalam menghancurkan limbah medis karena mampu memusnahkan patogen berbahaya yang berpotensi menularkan penyakit.

"Khusus untuk limbah medis, memang pemusnahannya masih harus melalui incinerator. Kalau tidak ada incinerator, bisa dibayangkan penumpukan limbah medis, potensi penyebaran penyakit, hingga pencemaran air tanah dan udara," jelas Irnawaty.

Dilema inilah yang kini dihadapi banyak daerah. Di satu sisi, larangan KLHK bertujuan menjaga kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Tapi, di sisi lain, daerah belum memiliki teknologi alternatif yang memadai untuk menggantikan insinerator, terutama dalam memusnahkan limbah medis.

Jika tak ada intervensi segera, baik dalam bentuk teknologi baru maupun regulasi yang lebih adaptif, maka masalah sampah akan semakin sulit dikendalikan.

Apalagi, volume sampah dipastikan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar, Helmy Budiman bilang Pemkot berencana melakukan pengadaan insinerator di tiap kecamatan untuk mengatasi masalah sampah.

Namun, semuanya masih butuh kajian agar sesuai dengan aturan Kementerian Lingkungan Hidup.

Sekarang ini di tiap RT/RW mulai melakukan pengolahan sampah, baik melalui biopori, ecoenzym, maggot, maupun komposter.

Sebanyak 10 ribu eco enzyme, 100 ribu biopori, dan 20 ribu pengembangan sentra maggot digulirkan sebagai solusi pengolahan sampah organik.

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup melarang pengelolaan sampah menggunakan insinerator, terutama jika dilakukan tanpa kaidah yang benar.

Hal tersebut diungkapkan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol pada Pembinaan Penilaian Kinerja Lingkungan Hidup Sektor Perhotelan di Bali, pekan lalu.

"Itu akan menimbulkan penyakit ataupun bencana yang lebih besar daripada sampah itu sendiri," ujarnya.

Faisol menjelaskan pembakaran sampah dengan insinerator dapat menghasilkan zat berbahaya berupa dioksin dan furan.

Zat ini terbentuk apabila proses pembakaran berlangsung pada suhu rendah, di bawah 1.850 derajat celsius.

"Bila mana sampah dibakar secara langsung, sampahnya masuk langsung, tidak ada pembakarnya, dipastikan suhunya tidak akan mencapai segitu. Kalaupun mencapai segitu, terjadi fluktuasi yang sangat tinggi, dan itu dipastikan akan menimbulkan dioksinfuran," jelasnya.

Zat berbahaya tersebut berukuran sangat kecil, hanya beberapa milimikron, sehingga tidak bisa disaring oleh masker biasa.

Bahkan, dioksin dan furan dapat menetap hingga 20 tahun di dalam tubuh manusia.

"Dioksinfuran ini itungannya, ukurannya milimikron yang tidak bisa kita saring dengan apapun. Dengan masker pun tidak bisa dan umurnya sangat panjang, sampai 20 tahun," katanya.

Menurut Faisol, cara terbaik saat ini dalam menangani sampah masih dengan metode manual, seperti pemilahan, pengumpulan, dan pengolahan ramah lingkungan.

Ia bilang saat ini Presiden telah mengeluarkan peraturan tentang pengelolaan sampah menjadi energi listrik.

Teknologi ini dinilai sudah terbukti dan bisa diterapkan di beberapa daerah.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini