- Data menunjukkan mayoritas penderita berasal dari kelompok lelaki seks lelaki
- Kasus HIV/AIDS terbanyak menyerang usia milenial antara 25-49 tahun
- Penanganan HIV/AIDS tidak bisa hanya dibebankan ke satu instansi
Seks bebas, penggunaan jarum suntik narkoba, hingga orientasi seksual tertentu disebut menjadi pintu masuk penyebaran virus.
"Intinya bagaimana supaya masyarakat kita tidak melakukan hal-hal yang berisiko," ucapnya.
Strategi Pencegahan
Dinkes Sulsel terus menggencarkan sosialisasi pencegahan HIV/AIDS. Program dilakukan mulai dari pendidikan usia dini, penyuluhan di sekolah, kampus, hingga tempat kerja.
Baca Juga:Sulsel Gandeng Vingroup Vietnam Kembangkan Energi Hijau dan Kendaraan Listrik
Selain itu, koordinasi juga dilakukan dengan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPA) dan kelompok masyarakat sipil.
Ishaq menekankan pentingnya pemeriksaan rutin sebagai langkah deteksi dini. Dengan begitu, penderita bisa segera diobati sehingga tidak menularkan virus ke orang lain.
"Temukan, obati, sampai sembuh, dan jangan menularkan kepada yang lain. Itu intinya," tegasnya.
Meski ada kemajuan, stigma sosial masih menjadi hambatan besar. Banyak penderita enggan terbuka karena takut dikucilkan.
Padahal, kata Ishaq, kesadaran untuk memeriksakan diri justru kunci memutus rantai penularan.
Baca Juga:BRIN Dikecam Karena Pindahkan Artefak Makassar ke Cibinong
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan komunitas. Masih ada tempat hiburan dan penginapan yang menerima tamu tanpa verifikasi identitas.
Kondisi ini membuat praktik prostitusi terselubung sulit dikendalikan.
"Semua OPD dan elemen masyarakat harus bekerja sama. Kalau hanya Dinkes yang bergerak, mustahil bisa menekan angka ini," jelasnya.
Hingga kini, Dinkes Sulsel memastikan pelayanan kesehatan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap berjalan.
Obat antiretroviral (ARV) tersedia di rumah sakit rujukan dan bisa diakses gratis.
Namun, Ishaq mengingatkan langkah terpenting tetap ada di tangan masyarakat.