- Data menunjukkan mayoritas penderita berasal dari kelompok lelaki seks lelaki
- Kasus HIV/AIDS terbanyak menyerang usia milenial antara 25-49 tahun
- Penanganan HIV/AIDS tidak bisa hanya dibebankan ke satu instansi
SuaraSulsel.id - Kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Sulawesi Selatan (Sulsel) sangat mengkhawatirkan.
Sepanjang Januari - Agustus 2025, Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel mencatat ada 1.214 kasus baru. Dari jumlah itu, 394 pengidap sudah meninggal dunia.
Data menunjukkan mayoritas penderita berasal dari kelompok lelaki seks lelaki (LSL), yakni 572 kasus.
Disusul populasi umum (200), penderita tuberkulosis (162), pelanggan pekerja seks (59), ibu hamil (54), pasangan orang dengan HIV (52), waria (42), serta pekerja seks perempuan (22).
Baca Juga:Sulsel Gandeng Vingroup Vietnam Kembangkan Energi Hijau dan Kendaraan Listrik
Dilihat dari kelompok umur, kasus HIV/AIDS terbanyak menyerang usia milenial antara 25-49 tahun (51 persen), diikuti usia 15-24 tahun (37 persen).
Sementara berdasarkan jenis kelamin, 74 persen penderita adalah laki-laki, sisanya perempuan.
Dari 24 kabupaten/kota di Sulsel, kasus HIV/AIDS tertinggi tercatat di Kota Makassar dengan 563 kasus. Disusul Gowa (119), Palopo (79), Bone (46), Toraja Utara (42), Parepare (41), Pinrang (33), Sidrap (32), Bulukumba (30), dan Jeneponto (30).
Kemudian, Takalar (25), Luwu (22), Tana Toraja (22), Luwu Timur (19), Wajo (16), Bantaeng (13), Sinjai (13), Soppeng (12), Maros (12), Barru (10), Luwu Utara (8 kasus), Pangkep (9), Barru (10), dan Kepulauan Selayar (11).
Meski jumlahnya relatif kecil, Dinkes Sulsel menilai tren ini tetap mengkhawatirkan karena menunjukkan penyebaran yang merata hingga ke wilayah pelosok.
Baca Juga:BRIN Dikecam Karena Pindahkan Artefak Makassar ke Cibinong
Kepala Dinas Kesehatan Sulsel, Ishaq Iskandar menegaskan, penanganan HIV/AIDS tidak bisa hanya dibebankan ke satu instansi. Menurutnya, ini tanggung jawab lintas sektor, termasuk lembaga pendidikan, sosial, hingga lembaga pemasyarakatan.
"Penanganan HIV/AIDS harus melibatkan semua pihak, bukan hanya Dinkes. Lebih baik mencegah daripada mengobati," ujarnya di kantor Gubernur, Senin, 22 September 2025.
Ishaq menilai peningkatan angka kasus juga dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri.
Kini, banyak yang datang secara sukarela melakukan tes HIV, termasuk kelompok berisiko seperti penghuni lapas, pekerja hiburan malam, hingga calon pengantin.
"Kesadaran masyarakat sudah mulai terbuka. Bahkan ada tempat hiburan malam yang mewajibkan pekerjanya tes kesehatan," kata Ishaq.
Meski begitu, ia menegaskan faktor risiko terbesar tetap berkaitan dengan perilaku seksual berisiko.
Seks bebas, penggunaan jarum suntik narkoba, hingga orientasi seksual tertentu disebut menjadi pintu masuk penyebaran virus.
"Intinya bagaimana supaya masyarakat kita tidak melakukan hal-hal yang berisiko," ucapnya.
Strategi Pencegahan
Dinkes Sulsel terus menggencarkan sosialisasi pencegahan HIV/AIDS. Program dilakukan mulai dari pendidikan usia dini, penyuluhan di sekolah, kampus, hingga tempat kerja.
Selain itu, koordinasi juga dilakukan dengan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPA) dan kelompok masyarakat sipil.
Ishaq menekankan pentingnya pemeriksaan rutin sebagai langkah deteksi dini. Dengan begitu, penderita bisa segera diobati sehingga tidak menularkan virus ke orang lain.
"Temukan, obati, sampai sembuh, dan jangan menularkan kepada yang lain. Itu intinya," tegasnya.
Meski ada kemajuan, stigma sosial masih menjadi hambatan besar. Banyak penderita enggan terbuka karena takut dikucilkan.
Padahal, kata Ishaq, kesadaran untuk memeriksakan diri justru kunci memutus rantai penularan.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan komunitas. Masih ada tempat hiburan dan penginapan yang menerima tamu tanpa verifikasi identitas.
Kondisi ini membuat praktik prostitusi terselubung sulit dikendalikan.
"Semua OPD dan elemen masyarakat harus bekerja sama. Kalau hanya Dinkes yang bergerak, mustahil bisa menekan angka ini," jelasnya.
Hingga kini, Dinkes Sulsel memastikan pelayanan kesehatan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap berjalan.
Obat antiretroviral (ARV) tersedia di rumah sakit rujukan dan bisa diakses gratis.
Namun, Ishaq mengingatkan langkah terpenting tetap ada di tangan masyarakat.
"Kalau semua sadar, maka kasus bisa ditekan. Pencegahan selalu lebih baik daripada mengobati," pungkasnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing