SuaraSulsel.id - Kota Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, bukan hanya dikenal sebagai pusat perdagangan dan gerbang Indonesia Timur.
Lebih dari itu, Makassar menyimpan jejak sejarah panjang yang terekam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam nama-nama daerahnya yang unik dan penuh makna.
Di balik nama-nama seperti Panakkukang, Tallo, hingga Pa'baeng-baeng, tersimpan kisah masa lalu, nilai-nilai budaya, hingga filosofi lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
Apalagi, bagi masyarakat Makassar, nama bukan sekadar label administratif atau tanda lokasi, tapi menjadi simbol identitas, kebanggaan, dan pengingat akan asal-usul.
Baca Juga:Jembatan Barombong Terancam Mandek! Wali Kota Makassar Desak Pembebasan Lahan Dipercepat
Dalam konteks budaya urban yang terus berkembang, memahami arti dan asal usul nama-nama daerah di Makassar menjadi salah satu cara untuk menjaga warisan lokal agar tetap hidup dan dikenali generasi masa kini.
Tak jarang, nama-nama tersebut juga menimbulkan senyum, tawa, atau rasa penasaran karena memiliki arti nyeleneh, menarik, atau bahkan mengandung kisah historis yang mengejutkan.
Berikut adalah sejumlah nama daerah di Makassar yang tak hanya terdengar unik di telinga, tetapi juga memiliki makna mendalam:
1. Minasa Upa
Berasal dari bahasa Makassar, Minasa berarti "harapan" dan Upa berarti "untung" atau "baik".
Baca Juga:Makassar Bakal Punya Stadion Megah! Rp500 Miliar Digelontorkan, Kapan Rampung?
Wilayah ini yang terletak di Kecamatan Rappocini, secara harfiah bermakna harapan akan keberuntungan.
Nama ini mencerminkan semangat positif yang diharapkan warga terhadap masa depan wilayah tersebut.
2. Panakkukang
Kini menjadi pusat bisnis dan perbelanjaan Makassar, nama Panakkukang mengandung makna puitis: tempat yang dirindukan.
Asalnya merujuk pada suasana asri dan keindahan alam di masa lalu, kontras dengan hiruk pikuknya kawasan metropolitan masa kini.
3. Tamalanrea
Nama ini berasal dari kata Tama' Lanre yang berarti "tidak akan bosan".
Filosofi ini mungkin menggambarkan kenyamanan atau daya tarik wilayah tersebut sebagai tempat tinggal yang menyenangkan dan tak membosankan.
4. Maccini Sombala
Unik dan penuh makna visual, nama ini menggabungkan kata Maccini (melihat) dan Sombala (layar perahu).
Konon, daerah ini dahulu merupakan kampung nelayan yang ramai dengan kapal layar, dan kini menjadi bagian dari Kecamatan Tamalate.
5. Pabaeng-baeng
Kata ini secara harfiah berarti "batas-batas". Wilayah ini merupakan perbatasan antara Makassar dan Kabupaten Gowa.
Nama ini menunjukkan fungsi geografisnya dalam konteks administrasi dan sejarah lokal.
6. Talasalapang
Gabungan dari kata Tala (pohon lontar) dan Salapang (sembilan), nama ini berkaitan dengan sejarah sembilan pohon lontar yang ditanam oleh pemimpin kerajaan kecil yang beraliansi dengan Kerajaan Gowa.
Simbol dari persatuan dan kekuatan kolektif.
7. Tidung Mariolo
Nama kampung tua ini berasal dari Tidung (nama anak raja) dan Mariolo (tua/lama), menandakan sejarah panjang daerah yang dulunya tersembunyi di tengah hutan lebat.
8. Karebosi
Kawasan pusat kota ini kini dikenal dengan lapangannya yang luas. Nama Karebosi bisa berarti "tanah lapang", atau menurut versi lain, berasal dari kanro (anugerah) dan bosi (hujan), sehingga bermakna “hujan sebagai anugerah Tuhan”.
9. Lakkang
Nama ini berasal dari tokoh lokal bernama Daeng Rilakkang, yang memimpin evakuasi saat masa perang.
Kini, Lakkang dikenal sebagai desa wisata di delta sungai Tallo dan Pampang.
10. Cambaya
Ada dua versi makna nama ini: pertama, dari camba yang berarti tanah perbukitan atau hutan.
Kedua, merujuk pada banyaknya pohon asam di wilayah tersebut. Letaknya kini berada di Kecamatan Ujung Tanah.

11. Pannampu
Berarti "tempat menumbuk padi", nama ini menunjukkan sejarah pertanian dan aktivitas pasca-panen yang dilakukan oleh masyarakat pendatang dari Maros, Gowa, dan Pangkep.
12. Paotere
Sebagai pelabuhan bersejarah, Paotere kemungkinan berasal dari kata Portugis Porto Entre (pelabuhan masuk).
Ada juga versi lokal dari kata otereq (tali), karena banyak warga Mandar membuat tali kapal di sana.
13. Panambungan
Dalam bahasa Makassar, Panambungan berarti “tempat penimbunan”.
Ini menggambarkan kondisi awal wilayah tersebut yang berupa rawa-rawa, yang kemudian ditimbun untuk dijadikan lahan permukiman.
14. Malimongan
Mengandung arti “bangkit dari kegagalan”, nama ini mencerminkan semangat warga yang membangun kembali kampung mereka setelah kebakaran hebat. Kini, Malimongan menjadi simbol kebangkitan dan ketangguhan.
15. Timungan Lompoa
Artinya adalah “pintu gerbang besar”. Kawasan ini dulunya dikenal dengan keberadaan gerbang besar yang dibangun pada masa penjajahan Jepang, sebagai titik kontrol lalu lintas warga.
16. Biringkanaya
Gabungan kata biring (tebing) dan kanaya (bersinar), wilayah ini menggambarkan dataran tinggi yang terbuka dan terang, baik secara geografis maupun simbolik.
17. Tallo
Tallo bukan hanya nama daerah, tapi juga nama kerajaan kuno di pesisir timur Makassar.
Kata Tallo sendiri berarti "keberanian" atau "semangat juang", menunjukkan peran historisnya dalam peradaban Sulawesi Selatan.
18. Sudiang
Berasal dari sudi (baik) dan ang (keadaan), nama ini menggambarkan harapan masyarakat agar wilayah tersebut menjadi tempat yang diberkahi dan makmur.
19. Antang
Diambil dari kata anta yang berarti “sopan” atau “menghormati”. Nama ini menggambarkan karakter masyarakat yang menjunjung tinggi tata krama dan etika lokal.
20. Sinrijala
Nama ini berasal dari sinri (melindungi) dan jala (jaring), merujuk pada aktivitas nelayan di masa lalu yang menyiapkan jaring mereka di wilayah ini.
Nama ini menunjukkan hubungan erat antara manusia dan laut.
Dari deretan nama tersebut, jelas terlihat bahwa Kota Makassar bukan sekadar kota pelabuhan modern, melainkan juga gudang warisan budaya dan sejarah.
Nama-nama wilayahnya menyimpan makna yang tak hanya memperkaya khasanah bahasa, tetapi juga menjadi pengingat akan perjalanan masyarakat Makassar membangun identitas dan peradaban.
Ya. Memahami asal-usul nama-nama ini bukan hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga memperkuat rasa cinta terhadap tempat tinggal.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing