SuaraSulsel.id - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah kini harus dilakukan secara terpisah.
Dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Putusan ini dibacakan langsung oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis, 26 Juni 2025.
Putusan ini merupakan respons atas permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diajukan oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Irmalidarti.
Baca Juga:MK Ubah Aturan: Sekolah Swasta Kini Gratis! Lalu, Nasib Guru Swasta Bagaimana?
MK menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jika tidak dimaknai secara berbeda ke depan.
Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah: Apa Bedanya?
Dengan adanya putusan ini, pemilu kini dibagi menjadi dua klaster utama:
1. Pemilu Nasional
Mencakup pemilihan:
Baca Juga:MK Diskualifikasi Trisal Tahir, KPU Segera Lakukan PSU di Kota Palopo
- Presiden dan Wakil Presiden
- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
2. Pemilu Daerah (Pilkada)
Mencakup pemilihan:
- Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Wali Kota) dan Wakilnya
- Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
Selama ini, pelaksanaan pemilu nasional dan daerah kerap dilakukan serentak dalam satu tahun yang sama.
Namun, berdasarkan pertimbangan MK, praktik ini menyulitkan proses demokrasi dan menghambat efektivitas pemerintahan.
Isi Putusan MK: Perubahan Makna Beberapa Pasal Penting
Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa:
Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 jika ke depan tidak dimaknai bahwa:
"Pemungutan suara dilaksanakan serentak untuk memilih DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Setelah itu, dalam waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan setelah pelantikan, barulah dilakukan pemilu untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah."
Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu juga harus dimaknai serupa dengan ketentuan jeda dua tahun tersebut.
Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai bahwa:
"Pemilihan DPRD daerah dan kepala daerah dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia dalam rentang dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan DPR dan DPD atau presiden dan wakil presiden."
Implikasi Putusan: Apa yang Akan Berubah?
Putusan MK ini akan berdampak besar terhadap desain dan penyelenggaraan pemilu ke depan:
1. Pemisahan Waktu Pemilu
Tidak ada lagi pemilu serentak nasional dan daerah dalam satu tahun. Pemilu akan dilakukan bertahap dengan selang waktu dua hingga dua setengah tahun.
2. Efisiensi Kerja Penyelenggara Pemilu
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, dan DKPP akan memiliki beban kerja yang lebih terukur dan fokus.
3. Peningkatan Kualitas Demokrasi
Dengan jeda waktu antar pemilu, pemilih memiliki ruang yang lebih luas untuk menilai kinerja para wakil rakyat maupun kepala daerah yang terpilih.
4. Kepastian Hukum dan Konstitusionalitas
Putusan ini memberikan kepastian konstitusional dalam sistem pemilu Indonesia yang selama ini dinilai tumpang tindih.
Respons Publik dan Pengamat
Beberapa kalangan menyambut baik putusan MK ini. Ketua Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menyatakan bahwa pemisahan ini sangat penting untuk memperkuat akuntabilitas politik.
Ia menilai bahwa ketika pemilu dilakukan serentak dalam satu hari, pemilih kehilangan fokus untuk menilai secara detail siapa yang mereka pilih.
Sementara itu, pengamat politik dari UGM menilai bahwa pemisahan pemilu bisa menghindarkan demokrasi Indonesia dari “overload pemilu” dan potensi kekacauan logistik yang tinggi.
Meski begitu, tantangan baru pun muncul, seperti soal anggaran, distribusi sumber daya, dan kesiapan birokrasi untuk menghadapi dua siklus besar dalam waktu berdekatan.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan tonggak penting dalam sejarah pemilu Indonesia. Pemilu nasional dan pemilu daerah kini tak lagi digabung, tetapi dipisahkan dengan jeda waktu yang jelas.
Hal ini bertujuan untuk menjaga efektivitas pemerintahan, meningkatkan kualitas demokrasi, dan memastikan sistem politik yang sehat dan transparan.
Selanjutnya, pemerintah dan DPR diharapkan segera menyesuaikan aturan teknis dan kalender pemilu agar sejalan dengan putusan MK ini.
Pemisahan pemilu bukan sekadar soal waktu, tetapi menyangkut masa depan demokrasi Indonesia yang lebih kuat, jujur, dan akuntabel.