Di level lokal, persoalan tapal batas juga kerap menimbulkan konflik antar kabupaten. Salah satunya adalah sengketa antara Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Kepulauan Selayar yang sama-sama mengklaim Pulau Kambing.
Menurut Jufri, mediasi telah dilakukan di tingkat provinsi, tetapi tidak menemukan titik temu. Akhirnya, penyelesaian didorong ke tingkat pusat melalui Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri.
"Kalau di level kabupaten tidak selesai, provinsi memfasilitasi. Jika tetap buntu, kita dorong ke pemerintah pusat. Begitu prosedurnya," tegas Jufri.
Hal serupa juga pernah terjadi antara Kabupaten Selayar dan Kabupaten Buton (Provinsi Sulawesi Tenggara) terkait klaim atas Pulau Kawi-kawia (Kakabia).
Baca Juga:Presiden Prabowo: 4 Pulau Milik Aceh!
Kasus ini juga harus naik ke meja pemerintah pusat karena tak menemui titik temu di tingkat daerah.
Menyusutnya luas wilayah Sulsel menimbulkan pertanyaan serius bagi pemerintah daerah maupun masyarakat.
Meski secara administratif keputusan ada di tangan Kemendagri, Pemprov Sulsel berharap ada mekanisme transparansi yang melibatkan daerah terdampak.
"Harapan kami tentu ada penjelasan lebih detail. Supaya masyarakat paham dan tidak muncul spekulasi yang menyesatkan," tegas Jufri.
Pakar Sebut Kepmendagri Berisiko Picu Konflik Antardaerah
Baca Juga:Rebutan Pulau, Sengketa Panas Sulsel dan Sultra di Laut
Direktur Lembaga Observasi Hukum dan Pemerintahan Umum (LOHPU), Aco Hatta Kainang, menilai Kepmendagri Nomor 300.22-2138 Tahun 2025 berisiko menimbulkan konflik antarwilayah.
Sebab, dokumen itu mengubah luas wilayah banyak provinsi secara signifikan, termasuk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, tanpa penjelasan geospasial yang transparan.
Menurut Aco, regulasi ini tidak hanya membingungkan karena penambahan jumlah pulau justru disertai berkurangnya luas wilayah nasional.
Tapi juga karena dikeluarkan secara sepihak tanpa pelibatan DPR, DPD, maupun pemerintah daerah.
"Bayangkan jika satu pulau yang selama ini masuk dalam zona tangkap nelayan atau wilayah konsesi tambang tiba-tiba dianggap bukan milik provinsi tersebut," lanjut Aco.
Ia mengingatkan, batas wilayah bukan sekadar teknis administratif, melainkan menyangkut identitas, sejarah, bahkan akses masyarakat terhadap sumber daya alam di wilayahnya.