Luas Wilayah Sulsel Berkurang Ribuan Kilometer, Jadi Milik Siapa?

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dibuat terkejut

Muhammad Yunus
Kamis, 19 Juni 2025 | 07:01 WIB
Luas Wilayah Sulsel Berkurang Ribuan Kilometer, Jadi Milik Siapa?
Ilustrasi Pulau Sulawesi: Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan bahwa luas wilayah administrasi Sulsel berkurang [Suara.com/ChatGPT]

SuaraSulsel.id - Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dibuat terkejut oleh terbitnya kebijakan baru dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Setelah secara resmi menyatakan bahwa luas wilayah administrasi Sulsel berkurang drastis hingga 6.575 kilometer persegi.

Pengurangan itu tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.

Regulasi tersebut telah ditetapkan sejak April lalu dan berdampak pada hampir seluruh provinsi di Indonesia termasuk Sulawesi Selatan.

Baca Juga:Presiden Prabowo: 4 Pulau Milik Aceh!

Namun, Kepmendagri itu tidak memuat penjelasan detail mengenai letak geografis wilayah Sulsel yang dikurangi.

Hal ini memicu berbagai pertanyaan dan kekhawatiran mengingat pergeseran batas wilayah bukanlah perkara sederhana. Baik secara hukum, historis, maupun administratif.

Sekretaris Provinsi Sulawesi Selatan Jufri Rahman mengatakan pengukuran batas wilayah yang digunakan pemerintah pusat didasarkan pada keberadaan pulau-pulau terluar.

Jika sebuah pulau yang dulunya dijadikan titik batas hilang karena abrasi, penurunan muka air laut, atau sebab alamiah lain, maka titik batas akan digeser ke pulau berikutnya. Akibatnya, luas wilayah bisa berkurang signifikan.

"Pengalaman saya sebagai kepala biro pemerintahan, memang kalau pulau batas terluar itu hilang atau tenggelam, acuan pengukuran akan pindah ke pulau lain. Otomatis, luas wilayah berubah," ujar Jufri saat dikonfirmasi pada Rabu, 18 Mei 2025.

Baca Juga:Rebutan Pulau, Sengketa Panas Sulsel dan Sultra di Laut

Menurutnya, fenomena seperti ini bukan hal baru. Namun tetap membutuhkan klarifikasi resmi dari Kemendagri.

Jufri bilang sudah tahu soal adanya penurunan luas wilayah Sulsel, tetapi belum mendapat penjelasan rinci tentang wilayah mana yang terpengaruh.

Jufri menjelaskan, penetapan batas wilayah bukan hanya soal letak geografis, melainkan juga melibatkan banyak aspek seperti sejarah, budaya, administrasi, hingga pertimbangan politis.

Ia mencontohkan Pulau Kalotoa di Kepulauan Selayar yang secara geografis lebih dekat ke Surabaya, tetapi secara administratif tetap milik Sulawesi Selatan.

Artinya, pendekatan penentuan batas wilayah tidak bisa dilihat hanya dari jarak atau posisi peta.

"Jadi klaim suatu pulau masuk wilayah provinsi tertentu atau tidak, bukan semata-mata soal jarak. Ada pertimbangan historis, budaya, hingga catatan administrasi yang turut menjadi dasar penetapan pemerintah pusat," jelasnya.

Di level lokal, persoalan tapal batas juga kerap menimbulkan konflik antar kabupaten. Salah satunya adalah sengketa antara Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Kepulauan Selayar yang sama-sama mengklaim Pulau Kambing.

Menurut Jufri, mediasi telah dilakukan di tingkat provinsi, tetapi tidak menemukan titik temu. Akhirnya, penyelesaian didorong ke tingkat pusat melalui Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri.

"Kalau di level kabupaten tidak selesai, provinsi memfasilitasi. Jika tetap buntu, kita dorong ke pemerintah pusat. Begitu prosedurnya," tegas Jufri.

Hal serupa juga pernah terjadi antara Kabupaten Selayar dan Kabupaten Buton (Provinsi Sulawesi Tenggara) terkait klaim atas Pulau Kawi-kawia (Kakabia).

Kasus ini juga harus naik ke meja pemerintah pusat karena tak menemui titik temu di tingkat daerah.

Menyusutnya luas wilayah Sulsel menimbulkan pertanyaan serius bagi pemerintah daerah maupun masyarakat.

Meski secara administratif keputusan ada di tangan Kemendagri, Pemprov Sulsel berharap ada mekanisme transparansi yang melibatkan daerah terdampak.

"Harapan kami tentu ada penjelasan lebih detail. Supaya masyarakat paham dan tidak muncul spekulasi yang menyesatkan," tegas Jufri.

Pakar Sebut Kepmendagri Berisiko Picu Konflik Antardaerah

Direktur Lembaga Observasi Hukum dan Pemerintahan Umum (LOHPU), Aco Hatta Kainang, menilai Kepmendagri Nomor 300.22-2138 Tahun 2025 berisiko menimbulkan konflik antarwilayah.

Sebab, dokumen itu mengubah luas wilayah banyak provinsi secara signifikan, termasuk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, tanpa penjelasan geospasial yang transparan.

Menurut Aco, regulasi ini tidak hanya membingungkan karena penambahan jumlah pulau justru disertai berkurangnya luas wilayah nasional.

Tapi juga karena dikeluarkan secara sepihak tanpa pelibatan DPR, DPD, maupun pemerintah daerah.

"Bayangkan jika satu pulau yang selama ini masuk dalam zona tangkap nelayan atau wilayah konsesi tambang tiba-tiba dianggap bukan milik provinsi tersebut," lanjut Aco.

Ia mengingatkan, batas wilayah bukan sekadar teknis administratif, melainkan menyangkut identitas, sejarah, bahkan akses masyarakat terhadap sumber daya alam di wilayahnya.

Aco pun mendesak pemerintah pusat meninjau ulang dokumen tersebut dan segera membentuk tim evaluasi independen untuk menghindari munculnya konflik tapal batas baru.

Seperti yang pernah terjadi di Pulau Berhala, Pulau Bala-balakang, hingga Pulau Kakabia.

"Kalau tidak ada evaluasi terbuka, saya khawatir, kita akan kembali ke titik di mana peta wilayah menjadi bahan rebutan, bukan sebagai dasar pembangunan," sebutnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini