MK Ubah Aturan: Sekolah Swasta Kini Gratis! Lalu, Nasib Guru Swasta Bagaimana?

Putusan Mahkamah Konstitusi mengubah arah pembiayaan pendidikan dasar di Indonesia

Muhammad Yunus
Kamis, 29 Mei 2025 | 08:47 WIB
MK Ubah Aturan: Sekolah Swasta Kini Gratis! Lalu, Nasib Guru Swasta Bagaimana?
Potret siswa SD di SDN Mangkura, Kota Makassar, Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara]

SuaraSulsel.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengubah arah pembiayaan pendidikan dasar di Indonesia.

Melalui putusan uji materi terhadap Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, MK memutuskan pendidikan dasar sembilan tahun, dari SD hingga SMP harus digratiskan.

MK menegaskan biaya pendidikan gratis tak hanya berlaku di sekolah negeri, tapi juga swasta.

Putusan itu disambut positif oleh banyak pihak tak terkecuali di Sulawesi Selatan. Salah satunya Bupati Kabupaten Bone, Andi Asman Sulaiman.

Baca Juga:Guru Ngaji Ditangkap Densus 88 di Gowa: Diduga Terlibat Terorisme dan Simpan Bom Rakitan?

"Kami belum dapat putusan resminya, tapi pasti nanti diteruskan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Itu putusan yang baik. Tentu kami siap," ujar Asman saat dihubungi, Rabu, 28 Mei 2025.

Kata Asman, sudah menjadi menjadi kewajiban negara untuk memfasilitasi semua anak sekolah tanpa membedakan sekolah di negeri atau pun swasta.

Namun kesiapan yang ia maksud, tidak tanpa catatan.

Kabupaten Bone, seperti banyak kabupaten lain di Sulawesi Selatan, memiliki tantangan geografis yang besar. Wilayah yang luas, akses jalan terbatas, dan keterbatasan fiskal daerah menjadi pertimbangan penting.

Sehingga menurutnya, perlu petunjuk teknis yang tepat soal putusan tersebut.

Baca Juga:Guru Ngaji Predator Anak di Makassar Ditangkap! Ini Jumlah Korban Sejak Tahun 2000

"Perlu juga kebijakan yang jelas soal biayanya. Mungkin jika nanti diterapkan bisa sharing dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten," sebutnya.

Ia menambahkan, selama ini perhatian terhadap sekolah swasta sering kali tertinggal.

Padahal di banyak daerah, sekolah swasta justru menjadi satu-satunya pilihan pendidikan dasar bagi warga di daerah terpencil atau padat penduduk.

"Selama ini memang fokus anggaran lebih banyak ke sekolah negeri. Putusan ini bisa jadi jalan pemerataan, agar sekolah swasta juga mendapatkan perhatian dan dukungan yang sama," ujarnya.

Di sisi lain, sekolah swasta menanggapi putusan ini dengan semangat yang campur aduk. Antara harapan dan kekhawatiran.

Direktur Sekolah Islam Athirah H. Syamril, mengatakan, secara prinsip, keputusan MK memberi harapan akan keadilan bagi semua warga negara.

"Sekolah swasta juga dibantu. Itu bagus. Tapi masalahnya, sebagian besar guru dan staf kami bukan PNS. Mereka digaji oleh yayasan, dan biayanya cukup besar," kata Syamril.

Menurutnya, selama ini Athirah memang tidak hanya mengandalkan iuran siswa. Ada dukungan dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disalurkan pemerintah.

Tapi jika aturan baru ini melarang pungutan, sementara pemerintah tidak bisa menutupi kebutuhan dasar sekolah swasta, terutama untuk gaji SDM, maka akan muncul masalah baru.

"Kalau standar biaya per anak sesuai kebutuhan yayasan, itu tidak masalah. Akan jadi masalah kalau pemerintah tidak mampu memenuhi standar yang layak atau wajar. Dan saat yang sama tidak boleh memungut lagi. Biaya SDM akan kekurangan," sebutnya.

Dari data yang tersedia, di Sulawesi Selatan saat ini terdapat 448 SMP swasta, dengan rincian 71 terakreditasi A, 184 B, dan 148 C. Sisanya memiliki sertifikasi ISO 9001, tetapi belum terakreditasi nasional.

Di sisi lain, jumlah SMP negeri mencapai 1.699 sekolah, jumlah yang jauh lebih besar.

Sayangnya, data mengenai jumlah SD swasta di Sulawesi Selatan masih belum tersedia secara lengkap.

Sedangkan SD Negeri di 24 kabupaten/kota mencapai 10.964 sekolah.

Namun, yang pasti, kebijakan ini akan berdampak besar, pada ribuan satuan pendidikan yang selama ini dikelola oleh masyarakat atau yayasan.

Putusan MK memang telah mengetuk palu keadilan. Namun, implementasi di lapangan akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota membagi peran dan beban.

Tanpa regulasi teknis yang mengatur pembiayaan dan mekanisme distribusinya, semangat gratiskan sekolah bisa tersandung realitas anggaran dan kompleksitas birokrasi.

Sementara itu, para kepala sekolah, yayasan, dan guru terutama di sekolah swasta kecil juga masih menunggu. Apakah ini awal dari pemerataan pendidikan, atau justru awal dari ketimpangan baru.

Sebab, jika kebijakan ini diimplementasikan tanpa hitungan matang, sorotan terhadap kesenjangan biaya antara sekolah negeri dan swasta bisa makin tajam.

Terutama pada aspek gaji guru, operasional harian, dan standar mutu pendidikan yang selama ini sangat bergantung pada kemampuan pembiayaan masing-masing sekolah.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini