Tenun Kajang: Warisan Sakral Sulawesi Siap Mendunia dengan Indikasi Geografis

Dengan perlindungan hukum, produk ini bisa semakin berkembang dan mendapat pengakuan nasional hingga internasional

Muhammad Yunus
Minggu, 04 Mei 2025 | 13:02 WIB
Tenun Kajang: Warisan Sakral Sulawesi Siap Mendunia dengan Indikasi Geografis
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum di Sulawesi Selatan berkunjung ke kawasan adat Kajang Ammatoa, Kabupaten Bulukumba [SuaraSulsel.id/Kantor Wilayah Kementerian Hukum Sulawesi Selatan]

SuaraSulsel.id - Kain tenun khas masyarakat adat Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai Tope Le’leng atau tenun Kajang.

Kini tengah dalam proses untuk memperoleh perlindungan hukum melalui skema Indikasi Geografis (IG).

Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum Sulawesi Selatan memberikan pendampingan langsung.

Dalam proses penyempurnaan dokumen permohonan IG yang telah diajukan oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Tenun Kajang (MPIG TK).

Baca Juga:Awas! Merek Produk UMKM Bisa Dicuri, Begini Cara Amankan dengan Biaya Murah

Kepala Kanwil Kemenkum Sulawesi Selatan, Andi Basmal, mengatakan, Tope Le'leng bukan sekadar kain, tapi warisan budaya yang diwariskan secara turun-temurun dan dijaga dengan nilai-nilai sakral.

Menurutnya, pendampingan ini merupakan bentuk dukungan terhadap pelestarian budaya sekaligus penguatan ekonomi masyarakat adat.

"Tenun Kajang bukan sekadar kain, tapi warisan leluhur yang menyimpan nilai budaya tinggi dan potensi ekonomi luar biasa bagi masyarakat adat Kajang," ujar Andi Basmal saat berkunjung ke kawasan adat Kajang Ammatoa, Sabtu, 3 Mei 2025.

Dengan perlindungan hukum, lanjutnya, produk ini bisa semakin berkembang dan mendapat pengakuan nasional hingga internasional.

Permohonan IG untuk tenun Kajang saat ini tengah dalam proses perbaikan dokumen sebelum dikirim kembali ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham.

Baca Juga:Hemat Anggaran! Kantor Kemenkum Sulsel Hanya Berkantor Empat Hari

Dalam kunjungannya, tim dari Kanwil Kemenkumham turut menyaksikan langsung proses pembuatan kain yang berlangsung secara tradisional.

Untuk pengerjaan tiap lembarnya, bisa memakan waktu antara tujuh hingga 10 hari.

Menurut Andi Basmal, saat ini satu lembar tenun Kajang dihargai antara Rp700 ribu hingga Rp1,2 juta. Tergantung pada tingkat kerumitan motif dan kualitas tenunan.

Ia menyebut, dengan status Indikasi Geografis tersebut, maka nilai jual kain tersebut bisa meningkat signifikan.

"Dengan perlindungan IG, nilainya bisa jauh lebih tinggi. Hingga jutaan," sebutnya.

Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kanwil Kemenkum Sulsel, Demson Marihot, menambahkan keunikan tenun Kajang terletak pada proses produksinya yang sepenuhnya alami.

Pewarna hitam khasnya berasal dari daun tarum dan seluruh prosesnya bebas bahan kimia.

Benangnya pun berasal dari kapas murni atau ‘katum’ dalam bahasa lokal, lalu kemudian dipintal dengan tangan.

"Semua dilakukan dengan teknik tradisional turun-temurun. Keunikannya itu," jelas Demson.

Kunjungan ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi. Salah satunya mendorong MPIG bekerja sama dengan masyarakat adat.

Untuk menambah alat tenun dan membangun bengkel kerja atau workshop khusus bagi para penenun.

Tujuannya agar para perajin dapat bekerja lebih produktif dan nyaman. Hasil produksi juga bisa lebih cepat.

"Kami ingin tenun Kajang bukan hanya menjadi kebanggaan Kabupaten Bulukumba, tapi juga dikenal luas sebagai warisan budaya Indonesia yang punya nilai ekonomi tinggi," tambah Andi Basmal.

Turut hadir dalam kunjungan ini Kepala Divisi Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum Heny Widyawati, Kepala Bidang Pelayanan Kekayaan Intelektual Andi Haris, Kepala Bidang Pelayanan Administrasi Hukum Umum (AHU) Muhammad Tahir, serta jajaran fungsional Kanwil Kemenkumham Sulsel dan pengurus MPIG Kecamatan Kajang.

Sebagai informasi, tenun Kajang atau Tope Le’leng adalah kain tenun tradisional berwarna hitam yang digunakan dalam berbagai upacara adat dan ritual oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa.

Kain ini tidak hanya mencerminkan identitas budaya, tetapi juga menjadi simbol kesederhanaan dan hubungan spiritual masyarakat Kajang dengan alam dan leluhur.

Bagi masyarakat adat Kajang di Bulukumba, warna hitam bukan sekadar pilihan estetika.

Warna ini melambangkan prinsip hidup mereka yaitu kamase-masea, yang berarti sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Warna hitam juga merepresentasikan keteguhan, kesetiaan pada adat dan alam.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini