Diyakini oleh masyarakat setempat, saat ikan teri masuk wilayah perairan Arakan, maka sekumpulan dugong akan ikut juga dalam kelompok tersebut.
Ada cerita bahwa kearifan lokal itu tumbuh berkat ada kesadaran bahwa keberadaan dugong ada kaitannya dengan berlimpahnya ikan teri di peraian itu. Ikan teri itu merupakan objek buruan masyarakat, terutama para perempuan nelayan di daerah itu.
Dulu, ada masyarakat yang menangkap dan mengkonsumsi dugong. Tak lama kemudian, kelompok dalam jumlah besar ikan teri menghilang atau lari.
Awalnya hal itu dianggap biasa. Tapi setelah beberapa kali kejadian, orang-orang tua kemudian mempelajari bahwa hilangnya teri ada kaitannya dengan banyaknya dugong yang ditangkap.
Baca Juga:Jasa Penggalian Kuburan di Makassar Gratis atau Berbayar? Ini Penjelasan Dinas Lingkungan Hidup
Lalu, tua-tua adat di kampung mengajak masyarakat jangan lagi memakan daging dugong.
"Mungkin dugong itu adalah rajanya saat bersama-sama dalam sekumpulan besar ikan teri. Kalau rajanya sudah tidak ada, ikan teri menghilang. Mungkin satu kerajaan," kata Syamsudin.
Kearifan lokal tidak mengkonsumsi daging dugong kemudian terbukti tidak hanya memiliki makna menjaga kelestarian dugong semata.
Tapi pesan yang besarnya adalah kaum perempuan nelayan seperti mendapatkan panen besar saat musim ikan putih tiba.
Kearifan lokal itu bertahan sampai saat ini. Saat mengambil ikan teri terlihat juga ada tiga atau empat ekor dugong di pinggir kelompok teri. Nelayan bahkan segera menyingkirkan jala bila ada dugong yang melintas agar tidak terjerat.
Baca Juga:BRI Green Financing Menjadi Pilihan Tepat untuk Kamu yang Pilih Rumah Ramah Lingkungan
Bagi Syamsudin, yang sudah lebih 40 tahun melaut, ada keinginan besar agar upaya menjaga populasi dugong dituangkan dalam sebuah peraturan desa yang mengikat.