SuaraSulsel.id - Di Kota Makassar, Sulawesi Selatan ada sebuah masjid tua berusia 118 tahun. Uniknya, masjid ini tak punya jemaah perempuan.
Namanya masjid As-Said atau sering disebut masjid Arab. Letaknya di jalan Lombok, Kecamatan Wajo.
Masjid As-Said didirikan tahun 1907 oleh para habib keturunan Arab dari Yaman dan Hadramaut yang menginjakkan kaki di wilayah Sulawesi sejak tahun 1900-an.
Masjid ini menyimpan banyak kisah perjalanan islam dan era kejayaan perdagangan masa lampau di "Bumi Anging Mammiri".
Baca Juga:Jadwal Buka Puasa Wilayah Makassar, Parepare, dan Palopo Kamis 6 Maret 2025
Masjid ini diinisiasi oleh Habib Hasan bin Muhammad Asshofi dan Habib Ali bin Abdurrahman Shihab sekaligus imam pertama masjid tersebut.
![Suasana masjid Arab di kota Makassar, Sulawesi Selatan yang tak punya jemaah perempuan [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/06/24142-masjid-arab.jpg)
Habib Ali bin Abdurrahman Shibab adalah kakek dari Profesor Muhammad Quraish Shihab, salah seorang cendekiawan Muslim di Indonesia.
Pengurus masjid, Ali Abdullah, mengatakan, salah satu tradisi Arab yang masih dipertahankan di masjid Arab Makassar adalah tidak adanya jemaah perempuan dalam salat lima waktu maupun salat Idulfitri.
Bukan berarti dilarang. Tapi, kata Ali, mereka berpedoman ke hadis nabi yang menyebut, "sebaik-baiknya salat wanita itu dilakukan di rumah. Tapi bukan berarti wanita tidak bisa salat di masjid jika merasa nyaman".
"Karena memang tradisinya orang Arab itu tidak ada wanita di masjid-masjid kecil. Kecuali masjid bersejarah di zaman Rasulullah seperti Nabawi dan Masjidil Haram," jelasnya, Rabu, 6 Maret 2025.
Baca Juga:Jadwal Buka Puasa Kota Makassar dan Sekitarnya, Rabu 5 Maret 2025
Walau begitu, pengurus tetap menyediakan mukena bagi musafir wanita yang hendak menunaikan salat di masjid Arab.
Ali menceritakan, perubahan lingkungan dan zaman tidak mempengaruhi tradisi masjid tersebut. Masjid Arab tetap berdiri tegak di lingkungan yang didominasi masyarakat Tionghoa.
Ya, lokasi pecinan ini diketahui pusat perdagangan global sejak tahun 1864 dan 1907.
Masjid Arab yang berada di antara permukiman padat itu jadi satu saksi bisu sejarah kemasyhuran aktivitas perdagangan di Makassar.
"Dan yang tersisa dari jejak komunitas Arab di sini hanya masjid ini," sebutnya.
Pemerintah telah menetapkan masjid ini sebagai benda cagar budaya. Masjid yang kini dikelola Yayasan Assa'id Makassar itu memiliki luas 18x22 meter persegi di atas tanah seluas 23x70 meter.
Kapasitasnya bisa mencapai 750 orang. Dari sisi eksterior dan interior, tidak ada yang menonjol dari masjid ini. Hanya saja ada bagian yang sengaja dibangun sebagai latar belakang filosofi bangunan.
Seperti dua pohon kurma rindang yang tak jauh dari gerbang. Walau sudah ditanam 10 tahun, pohon ini tak pernah berbuah.
"Selalu berbunga tapi tak pernah berbuah," sebutnya.
![Pengurus masjid Arab, Ali Abdullah, di kota Makassar, Sulawesi Selatan yang tak punya jemaah perempuan [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/06/54747-masjid-arab.jpg)
Kawanan merpati juga terlihat beterbangan di pelataran masjid. Pemandangan ini menciptakan suasana yang mengingatkan pada Masjidil Haram di Mekkah.
"Pintunya yang besar ada 9 buah di sisi depan, kanan dan kiri. Angka 9 itu angka tertinggi, angka ganjil. Sesuatu yang ganjil Allah SWT paling suka. Misalnya jumlah rakaat witir yang ada 3 rakaat," lanjutnya.
Lalu, ada empat tiang atau pilar besar di dalam masjid yang masing-masing berdiameter 80 centimeter sebagai simbol empat khalifah.
Ia bilang, pintu-pintunya sengaja dibuat lebih lebar agar jemaah yang berada di dalam maupun teras masjid tetap berdekatan.
Masjid ini juga jadi lokasi transit jemaah dari berbagai daerah di Indonesia timur sebelum umrah atau menunaikan ibadah haji dengan menggunakan kapal laut dari Makassar ke Mekkah.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing