SuaraSulsel.id - Pengamat Politik Universitas Hasanuddin Andi Ali Armunanto menilai calon kepala daerah di Sulawesi Selatan akan disponsori oleh cukong kelas kakap.
Menurutnya, perhelatan Pilkada di daerah ini akan menjadi pertarungan bagi pemodal.
Mahalnya biaya politik di dalam pilkada, membuka peluang bagi pemodal atau cukong untuk memberikan dukungan dana kepada kandidat kepala daerah.
Namun di Sulsel, pemodal tidak lagi menyasar proyek APBD dan APBN sebagai balas budi, tapi sumber daya alam.
Baca Juga:Bawaslu Sulsel Buka Ruang Suara Perempuan di Pilkada Serentak 2024
Kata Andi Ali, para pemodal politik saat ini bukan lagi kelas tongkol. Mereka akan jor-joran membiayai calon kepala daerah di Pilgub Sulsel demi mengincar pengelolaan PT Vale.
"Salah satunya yang diincar adalah nikel. Kita tahu nikel saat ini jadi incaran di Indonesia untuk proyek strategis nasional dan Sulsel menjadi salah satu wilayah segitiga dari Sulawesi Tengah dan Tenggara. Di Luwu Timur sana ada Vale," ujar Andi Ali.
"Ini menariknya karena semacam perebutan sumber daya alam. Kemudian adalah 2025 kontrak karya PT Vale itu berakhir dan akan berganti dengan IUP (Izin Usaha Pertambangan). Ada kewajiban Vale untuk melepaskan sebagian konsesi lahan yang dikuasai dan ada puluhan ribu blok yang akan dilepas," jelasnya.
Peluang tersebut sudah diteropong oleh para pengusaha pertambangan. Sebab, Pemprov ke depan akan punya peran cukup besar soal lahan konsesi di PT Vale.
"Pemodalnya sebenarnya sudah masuk. Ada kelompok Jakarta, Batu Licin itu sudah mulai masuk. Kita kan bisa telusuri koneksinya siapa ke siapa. Itu mereka sudah masuk, di Pilgub sebelumnya sudah terlihat," jelas ketua jurusan Ilmu Politik Unhas itu.
Baca Juga:DWP Provinsi Jatim Studi Komparasi di Dekranasda Sulsel
"Bahkan dari hasil penelitian saya, ada aliran dana Rp600 miliar ke salah satu calon pada Pilgub 2018 lalu. Jadi dari awal sudah kelihatan tapi tentu saja pertaruhan di 2024 ini akan lebih besar, jadi akan lebih banyak pengusaha yang akan berinvestasi lewat jalur politik di Sulsel," lanjutnya.
Hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) sendiri menunjukkan biaya politik yang harus dikeluarkan untuk memenangkan kontestasi cukup tinggi.
Untuk memperebutkan kursi bupati/wali kota misalnya, biaya yang harus dirogoh mencapai Rp20 miliar-Rp30 miliar. Sedangkan untuk pemilihan gubernur mencapai Rp20 miliar-Rp100 miliar.
Kehadiran sponsor di balik para calon kepala daerah terjadi karena mahalnya ongkos pilkada. Hal tersebut memaksa setiap pasangan calon harus memiliki kekuatan modal ekonomi yang kuat.
Sayangnya, harta kekayaan pasangan calon seringkali tak mencukupi. Biaya untuk memenangkan pilkada, jauh lebih besar dari harta kekayaan yang dimiliki para kandidat.
Kondisi ini menjadi pintu masuk cukong-cukong pilkada yang berujung pada pencederaan demokrasi.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing