SuaraSulsel.id - Mantan Direktur PDAM Makassar Haris Yasin Limpo (HYL) ditetapkan tersangka kasus dugaan korupsi.
Ia diduga bersama-sama dengan Direktur Keuangan pada masanya, Irawan (IA), melakukan korupsi pada tahun 2016-2019. Keduanya langsung ditahan selama 20 hari ke depan dan mendekam di Lapas Makassar.
Kasi Penkum Kejati Sulsel Soetarmi menjelaskan kasus yang menjerat adik Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo itu. HYL dan IA disebut mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp20,3 miliar.
Ia mengatakan pada tahun 2016-2019 PDAM mendapatkan laba. Untuk menggunakan laba tersebut harus dilakukan rapat direksi yang disetujui oleh Dewan Pengawas dan ditetapkan Wali Kota.
Baca Juga:Anas Urbaningrum Bebas, Beri Sinyal ke Pemilik Skenario Tidak Bisa Hidup dan Tidur Tenang!
Untuk prosedur penggunaan laba, kata Soetarmi, seharusnya melalui pembahasan rapat Direksi dan dicatat dalam notulensi. Namun faktanya, dalam kurun waktu 2016-2019, tidak pernah dilakukan pembahasan rapat oleh Direksi terkait permohonan penetapan pengguna laba dan pembagian.
"Tidak juga dilakukan notulensi saat rapat sehingga tidak terdapat risalah rapat. Melainkan pengambilan keputusan oleh Direksi hanya berdasarkan rapat per bidang. Itupun hanya Direktur Utama dan Direktur Keuangan PDAM Makassar," ungkap Soetarmi.
Kalaupun mendapat laba, lanjut Soetarmi, seharusnya PDAM memperhatikan kerugian. Dalam hal ini kerugian akumulasi sejak berdirinya PDAM Makassar untuk mengusulkan penggunaan laba tersebut.
"Namun tersangka HYL dan IA tidak mengindahkan peraturan Mendagri nomor 2 tahun 2007 tentang organisasi dan kepegawaian PDAM dan PP 54 tahun 2017. Tersangka beranggapan bahwa pada tahun berjalan kegiatan yang diusahakan memperoleh laba sedangkan bukan menjadi tanggung jawabnya melainkan tanggung jawab direksi sebelumnya," bebernya.
Oleh karena itu, tersangka merasa berhak untuk mendapatkan pembayaran tantiem dan bonus jasa produksi, yang merupakan suatu kesatuan dalam laba yang diusulkan.
Baca Juga:Geledah Kantor Bupati Meranti, KPK Sita Sejumlah Barang Bukti
Kemudian, lanjut Soetarmi, terdapat perbedaan penggunaan besaran laba pada Perda nomor 6 tahun 1974 dan PP 54 tahun 2017, khususnya untuk pembagian tantie. Dimana, Direksi mendapat bonus 5 persen dan bonus pegawai 10 persen. Sedangkan PP 54 tahun 2017 diatur pembagian tantiem dan bonus pegawai hanya boleh 5 persen.
Akibat perbuatannya, kedua tersangka disangkakan pasal primer 2 ayat 1 junto pasal 12 huruf a UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Perbuatan para terdakwa juga melanggar Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing