SuaraSulsel.id - Andi Mappanganro sudah tiga periode terpilih menjadi Ketua Panitia Pemungutan Suara atau PPS di Kelurahan Rappocini, Kota Makassar. Bahkan, penyandang tuna daksa ini berminat mendaftarkan diri menjadi Anggota KPU pada bulan April mendatang.
Keterbatasan fisik bukan halangan bagi Mappanganro, ikut terlibat sebagai penyelenggara Pemilu. Meski mengalami keterbatasan, Dia mengaku mampu bersaing dengan orang normal. Ia mengaku profesional.
"Walaupun saya tuna daksa, saya bisa selesaikan tugasku dengan baik. Saya sudah tiga periode terpilih jadi Ketua PPS di Rappocini," ujarnya, Rabu, 15 Februari 2023.
Hampir tak ada hambatan selama ia bertugas menjadi penyelenggara Pemilu. Mappanganro hanya prihatin dengan penyandang disabilitas yang mampu seperti dirinya, tapi tidak percaya diri.
Baca Juga:Pemilih Pemilu 2024 di Sumbar Didominasi Kaum Milenial
"Mereka sangat kental dengan rasa malu, takut, tidak mau bertemu dengan orang, padahal sebenarnya mampu. Jadi ini sebenarnya tergantung penerimaan dari masyarakat juga," ungkapnya.
Dia mengaku punya banyak pekerjaan rumah pada Pemilu 2024. Salah satunya adalah mengajak disabilitas lain agar bisa berpartisipasi sebagai pemilih.
Pada Pemilu 2019 lalu, suara penyandang disabilitas di Kota Makassar disebut sangat rendah. Persentasenya hanya 0,2 persen dari jumlah penyandang disabilitas.
"Itu untuk Makassar ya. Padahal target kita setidaknya bisa sampai 1 persen. Ternyata hanya 0,2 persen," ujarnya.
Beberapa kendala, karena petugas tidak melakukan jemput bola. Misalnya, mendatangi mereka yang tunanetra, atau tunagrahita. Kemudian, TPS yang tidak ramah terhadap disabilitas.
"Ini yang sedang saya suarakan ke KPU. Agar membuat TPS yang ramah disabilitas. Pendampingan di TPS untuk teman-teman disabilitas seperti tuna rungu juga tidak ada," ungkapnya.
Diketahui, keterlibatan penyandang disabilitas di Pemilu masih sangat minim. Padahal, konstitusi telah menjamin hak-hak politik difabel atau penyandang disabilitas sejak tahun 2011.
Perlindungan hukum hak pilih bagi penyandang disabilitas telah ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan pasal 28E Ayat (3) UUD 1945.
Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan ketentuan teknis yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan Nur Syarif Ramadhan mengatakan, isu difabel menjelang Pemilu ramai dibicarakan.
Mereka juga sudah diberi ruang oleh penyelenggara, yakni KPU dan Bawaslu. Untuk dipilih dan memilih sesuai dengan konstitusi.
"Ada kuota yang tersedia (sebagai penyelenggara pemilu), cuma dari segi teman-teman difabel, mereka kurang percaya diri. Tidak ada yang berani daftar," ujar Nur, Minggu, 12 Februari 2023.
Nur mengatakan ketidakpercayaan difabel karena faktor keterbatasan fisik. Kemudian, ada pola pikir di masyarakat yang mempengaruhi mereka.
Sebagai contoh di Kota Makassar. Hanya ada satu orang difabel yang mendaftar sebagai penyelenggara Pemilu 2024.
Padahal, dari data Dinas Sosial, ada sekitar 20 ribu penyandang disabilitas di Kota Makassar. Tuna daksa yang paling banyak.
"Di Makassar saya tahunya hanya ada satu orang (jadi badan Adhoc)," ungkapnya.
Nur mengatakan difabel sebenarnya sudah cukup melek terhadap politik. Mereka selalu antusias mengikuti sosialisasi yang digelar oleh Bawaslu dan KPU.
Bahkan salah satu pelapor KPU kota Makassar ke Bawaslu beberapa waktu lalu adalah organisasi difabel. Partisipasi mereka sebagai pemilih di setiap perhelatan politik juga meningkat.
"Hanya sebatas itu. Saya tidak tahu apakah itu sudah memenuhi (hak difabel) atau belum, tapi sudah ada praktik baik yang sudah dilaksanakan oleh Bawaslu dan KPU," kata Nur.
Kendati demikian, Nur menyorot soal kebijakan dari KPU dan Bawaslu yang tidak bisa dijangkau oleh semua ragam disabilitas.
Misalnya, tidak semua difabel bisa mengecek hak pilihnya di DPT, surat suara yang kadang tidak ada "braile" dan juga tempat pemungutan suara (TPS) yang tidak ramah difabel.
Ia berharap KPU melakukan pendataan khusus terhadap mereka. Tidak hanya mencatat identitas, tapi juga soal kebutuhan khusus mereka. Agar penyelenggara bisa menyiapkan pelayanan dan fasilitas yang sesuai di TPS.
"Jadi memang masih sedikit yang memikirkan akses bagi teman-teman disabilitas. Sejauh ini kami melihat penyelenggara fokus ke (difabel) yang paling mudah diakomodasi saja, seperti tuna daksa. Belum ada perhatian ke disabilitas mental atau penyandang tuna rungu. Itu yang kami harap di Pemilu 2024 nanti bisa difasilitasi," jelas Nur.
Minimnya aksesibilitas untuk difabel di Pemilu diakui oleh komisioner KPU Sulsel, Misna Attas. Bukan hanya sebagai pemilih, tapi juga penyelenggara atau yang dipilih.
"Masih banyak pendirian TPS yang tidak punya akses bagi mereka. Akibatnya kesulitan dalam menggunakan hak suaranya," kata Misna.
Misna bahkan mengaku pernah diprotes karena TPS. Ia ingin di pemilu tahun ini kasus serupa tidak terjadi.
"Ada pemilih penyandang disabilitas (tuna daksa) protes ke kami, karena TPS di lantai II sekolah, mereka kan susah naik tangga. Sementara, kita di Makassar ini jarang dapat ruang terbuka untuk mendirikan TPS. Jadi yang paling penting memang aksesibilitas. Salah satu keberhasilan pemilu kan harus memenuhi aksesibilitas," ujarnya,
"Ada juga kasus tuna rungu (tuli) sudah lama datang ke TPS, sudah dipanggil berulang kali untuk mencoblos tapi karena dia tidak dengar jadi tidak masuk-masuk ke bilik. Jadi soal pendataan juga penting," lanjutnya.
Salah satu solusinya adalah membuat TPS khusus untuk memudahkan para penyandang disabilitas dalam proses pemungutan suara. Pihaknya juga akan menyediakan pendamping untuk membantu para difabel.
"Pendampingan itu sangat perlu terutama untuk mengisi formulir pernyataan C3 yang wajib. Sementara untuk sosialisasi, kami sudah lakukan beberapa kali," kata Misna.
Menurut Misna, salah satu tolak ukur suksesnya pelaksanaan pemilu adalah pemilih dari penyandang disabilitas. KPU juga menerima dan melibatkan penyandang disabilitas sebagai badan adhoc penyelenggara Pemilu.
"Sudah ada dari mereka yang jadi anggota PPS atau pemantau," ujarnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing