SuaraSulsel.id - Dulunya, warga Makassar punya ciri khas dalam berkomunikasi. Semacam nyanyian untuk menyampaikan kebajikan.
Namanya Kelong. Kelong adalah salah satu sastra lisan khas Makassar. Di era sekarang, nyaris tak pernah lagi terdengar.
Budayawan Universitas Hasanuddin Ery Iswary mengatakan kelong merupakan cerminan bertutur masyarakat Makassar yang tidak suka mengatakan secara langsung atau eksplisit. Bagi mereka, tindak tutur secara langsung dianggap tidak santun.
Orang tua dulu kemudian menggunakan kelong sebagai media edukasi. Isinya berisi nasihat dan nilai moral.
Baca Juga:Pemkot Makassar Siapkan Rp300 Miliar Untuk Bangun Fasilitas Olahraga
"Orang dulu menyampaikan harapan atau mendidik anaknya itu dengan lirik-lirik kelong," ujarnya, Sabtu, 19 Maret 2022.
Ery mengatakan orang-orang Makassar dulu cerdas merangkai kalimat. Mereka menggunakan simbol analogi dan persamaan. Lalu kemudian membentuk sebuah karya sastra.
Ery masih sempat menikmati indahnya nada-nada kelong. Sewaktu kecil, orang tuanya kerap menyanyikan kelong sebagai pengantar tidur.
Masyarakat Makassar sendiri terbagi dalam lima dialek, tergantung daerahnya masing-masing. Perbedaannya hanya terletak dalam penggunaan diksi saat dituturkan.
"Prinsipnya kelong itu pada isinya. Tidak tergantung pada leksikal di dalamnya, namun apa yang ingin disampaikan oleh kelong itu," kata Ery.
Baca Juga:Dua Kelompok Warga di Jalan Somba Opu Kota Makassar Saling Serang Menggunakan Senjata Tajam
Hal ini juga yang membedakan kelong dan elong, nyanyian budaya Bugis. Selain perbedaan bahasa, makna kelong disebut lebih mendalam.
Setiap tuturan katanya memiliki maksud dan makna. Bukan sekadar analogi dan metafora yang digambarkan melalui diksi indah.
Budayawan Sumarlin Rengko juga mengatakan fungsi kelong dalam masyarakat begitu banyak. Tidak hanya sebagai karakter namun jadi kritik sosial.
"Bisa juga menggambarkan kritik dan penderitaan masyarakat," katanya.
Teks-teks kelong menggambarkan bagaimana stratifikasi sosial memisahkan kehidupan masyarakat Makassar pada saat itu berdasarkan kasta. Diksi-diksi yang ditampilkan pada teks kelong menggambarkan kehidupan sosial mereka.
"Tiap kasta, kata-kata yang digunakan di dalam kelong berbeda," ungkapnya.
Selain itu, kelong tidak hanya terpisahkan oleh kasta. Tapi juga dipisahkan oleh letak geografis etnis Makassar, Tulembang (petani) dan Patorani (nelayan).
Masyarakat yang tinggal di pesisir menggunakan diksi kelong yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah yang bukan pesisir.
Di Jeneponto misalnya. Kehidupan mereka sebagai nelayan dihabiskan di tengah laut berlayar dalam waktu yang lama.
Otomatis kelong mereka terpengaruh oleh kerinduan akan keluarga dan kampung halaman. Mereka kemudian merangkai diksi sesuai yang dirasakannya.
Sedang masyarakat Makassar yang berprofesi sebagai petani, lirik-lirik kelong mereka berisi harapan agar sawah yang mereka tanam dapat tumbuh dengan baik. Gunanya untuk mengajarkan nilai budi pekerti sesuai dengan pekerjaan mereka.
Contohnya, bulaeng palek parea.
Intang palek tu mak katuoa.
Jamarrok palek tu lelea ri bokoang.
Artinga, emas pulahlah padi.
Permata pulah orang yang memelihara.
Jamrud pula orang yang membagi di belakang.
"Ini dikarenakan masyarakat menggunakan diksi yang mereka lihat. Masyarakat Jeneponto melihat alam berbeda, di sekitar mereka penuh dengan hal-hal yang berbau bahari. Sedang, masyarakat Malino memandang alam dengan tumbuhan, sawah dan gunung," jelas Sumarlin.
Kelong Makassar diketahui memiliki pola suku kata 8.8.5.8 dalam setiap baris. Maksudnya, pada baris pertama harus berisi delapan suku kata
Kemudian, baris kedua juga delapan suku kata, baris ketiga lima suku kata, dan baris keempat delapan suku kata.
Pola ini menjadi pakem yang tidak bisa diubah dan menjadi ciri khasnya yang membedakannya dengan pantun.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing