SuaraSulsel.id - Kisah kelam korban kekerasan seksual dialami Saya (bukan nama sebenarnya). Ia mengaku sudah puluhan tahun menyimpan rahasia.
Pelecehan seksual dilakukan oleh orang terdekatnya. Hal itu dialami perempuan berusia 27 tahun itu saat masih anak-anak.
SuaraSulsel.id menemui Saya, Kamis, 26 November 2021, di sebuah kafe di jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Makassar.
Saya sedikit gugup. Sebab ini pertama kali menceritakan kisahnya ke media.
Baca Juga:Jalan Terjal Mengungkap 'Kuasa' Predator Seks di Lingkungan Kampus
Ia terdiam cukup lama, lalu menarik nafas memulai pembicaraan.
"Saya pernah dilecehkan saudara saya, mbak. Kakak."
Ia terdiam lagi. Tertunduk. Lalu mengangkat kepalanya melanjutkan pembahasan.
Saya mengaku masih ingat betul kejadian yang pernah dialami puluhan tahun lalu. Ia pernah dilecehkan saudaranya sendiri. Saat usianya 9 tahun. Saat itu Saya masih duduk di kelas 4 bangku sekolah dasar.
"Saya tidak tahu apakah ini trauma. Tapi setiap baca dan dengar berita (soal) pelecehan seksual, saya bergetar dan keringat dingin," ujarnya.
Baca Juga:Marak Kasus Kekerasan Seksual, Dorongan Pengesahan RUU TPKS Terus Menggema
Berasal dari keluarga kurang mampu saat kecil, membuat Saya harus tidur satu kamar dengan empat orang saudara. Keempatnya berjenis kelamin laki-laki.
"Saya dari keluarga kurang mampu, dulu satu kamar harus tidur dengan semua saudara. Disitulah terjadi."
Saya mengatakan, kakak ketiganya, Y, adalah pelakunya. Ia kerap dilecehkan ketika malam hari. Saat semua orang sudah terlelap.
Ia menduga Y melakukannya karena mencontoh perilaku kedua orang tuanya. Saya berulang kali menciduk Y sedang mengintip orang tuanya sedang berhubungan seks.
"Karena pembatas antar ranjang kami dan ranjang orang tua hanya kain gorden. Jadi di rumah hanya satu kamar," jelasnya.
Sejak itu Y menjadikannya objek. Bahkan kadang mencium dan menggendongnya sambil memegang daerah sensitif tubuhnya dan mengatakan "sayang adik".
"Saya tidak berani teriak dan melawan. Antara malu ke mama-papa kalau ketahuan dan dia akan diusir dari rumah. Jadi setiap sudah saya selalu menangis diam-diam," lanjutnya.
Y juga kerap mengajaknya bermain ke belakang rumah. Modusnya adalah bermain tenda. Kadang Saya menolak karena ia tahu Y akan menyodominya. Namun jika ditolak, Y kerap memukulnya.
Saya menjadi korban kekerasan seksual lebih satu tahun. Saat memasuki SMP, ia memilih pindah ke rumah neneknya.
Sejak saat itu hubungan Saya dan kakak kandungnya tidak akur hingga kini. Saya selalu melawan dan merasa dendam dengan saudaranya sendiri.
"Sudah 10 tahun lebih kejadiannya tapi saya masih ingat semua. Saya dendam, saya tidak bisa maafkan secara personal, walau kami masih bicara karena orang tua," terangnya.
Saya mengaku akhirnya punya keberanian menceritakan hal ini kepada ibunya dua tahun lalu. Ia membaca artikel dan berita soal banyaknya penyintas pelecehan seksual yang berani untuk berbicara ke publik sehingga mengikutinya.
Sayang, ibunya langsung jatuh sakit setelah mendengar itu. Ia kemudian mengurungkan niatnya bahkan sempat berencana melaporkan kakak kandunganya ke polisi.
"Saya dilema. Tidak mudah untuk cerita ini ke orang tua, tapi jika dipendam terus saya bergetar setiap dengar berita pelecehan. Jadi itu alasan saya untuk tidak lanjut. Mama pernah mempertemukan saya dan Y bicara. Tapi kakak saya marah besar dan sampai saat ini tidak pernah lagi menghubungi keluarga".
Korban Kecanduan
Parahnya, setelah kejadian itu Saya seperti kecanduan seks. Kejadian itu dialami saat ia memasuki dunia perguruan tinggi.
Ia sempat menjalin kasih dengan teman satu fakultasnya, di sebuah perguruan tinggi di Kota Makassar. Pergaulannya saat kuliah bisa dikatakan bebas.
Ia bahkan kerap berhubungan seks dengan kekasihnya. Namun setiap melakukannya, ia selalu teringat akan kejadian saat dilecehkan oleh saudaranya.
"Saya jatuh cinta dan kami mulai berhubungan seks. Alasannya suka sama suka, tapi saya merasa itu akibat pelecehan sejak kecil karena dilakukan berulang kali," ungkapnya.
Saya merasa kecanduan seks hingga tiga tahun. Beruntung ada konsultasi psikologi yang diadakan kampusnya secara gratis. Ia kemudian menceritakan kisahnya dan didampingi psikolog hingga kini.
"Sampai sekarang Saya lebih banyak salat, sibuk bekerja dan melakukan aktivitas sosial termasuk di bidang lingkungan. Saya diminta untuk mencari kesibukan. Sehingga tidak mengingat hal yang bisa menimbulkan hasrat seks. Saya sakit soal psikis, mbak," ujarnya sambil menangis.
Ia mengaku baru kali ini berani menceritakan kisahnya ke media. Walau ia sebenarnya malu dan takut jadi korban perundungan orang-orang di sekitarnya.
Namun, berita soal anak yang diperkosa oleh kakek, paman, dan saudaranya di media membuat Saya kembali trauma. Saya kemudian menghubungi SuaraSulsel.id untuk berbagi kisah.
Ia mengatakan, setiap kali membaca berita seperti itu. Timbul niat untuk melaporkan saudaranya ke polisi. Namun kembali lagi, ia tak punya bukti kuat apalagi kejadiannya puluhan tahun yang lalu.
"Itu beban bagi saya, saya tidak punya bukti. Sementara untuk melapor ke polisi setidaknya ada dua bukti agar laporan bisa naik (tahap)," keluhnya.
Saya berharap kejadian yang dialaminya bisa jadi pembelajaran bagi orang tua ke depannya. Punya anak perempuan harus diawasi aktivitasnya. Walaupun dengan saudara laki-lakinya.
Menurutnya, orang tua harus mengedukasi ke anak soal pendidikan seks. Tapi bukan mengajarkan cara berhubungan intim. Karena sang anak harus paham soal organ reproduksi, mana bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh dipegang oleh orang lain.
"Kemudian ajarkan ke anak kalau ada yang pegang atau sentuh ini, ini bilang (lapor). Jangan seperti saya yang takut. Sehingga diam karena itu akan sangat membekas. Sampai tua pun saya rasa tidak hilang," ungkapnya.
Saya juga kini mengurungkan niatnya untuk menikah. Ia mengaku malu jika kelak suaminya tahu, iparnya pernah memperkosa istrinya.
"Saya sebenarnya malu cerita ini. Tidak ada pembenaran atas yang sudah terjadi tapi saya pun korban. Saya tidak tahu harus cerita ke siapa. Sampai saat ini baru tiga orang yang tahu, mama, psikolog dan mbak," kata perempuan yang kini berprofesi sebagai pegawai bank.
Berita soal kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak paling banyak disuguhkan oleh media akhir-akhir ini. Terbaru, seorang anak di Kabupaten Gowa diperkosa ayah kandungnya sendiri.
N, remaja berusia 16 tahun itu mendatangi kantor Polres Gowa, Minggu, 5 September 2021. Ia melaporkan RN (48), ayah kandungnya yang tega menghamilinya.
N mengaku sedang hamil 9 bulan. Selama ini, ia selalu diancam oleh RN akan dibunuh. Jika memberitahu siapa-siapa. Namun karena sudah muak, ia menceritakan kejadian yang dialaminya kepada adiknya.
Dosen Psikolog Universitas Hasanuddin Makassar Andi Juwita mengatakan, kecanduan seks bisa jadi dampak nyata yang terjadi pada korban kekerasan seksual. Beberapa kasus menunjukkan seperti itu.
Ia menjelaskan akan ada dorongan seks yang muncul ketika korban dilecehkan berulang kali. Apalagi bagi mereka yang belum paham soal fungsi seks, mengakibatkan mereka akan mencari sasaran lain ketika dorongan itu muncul.
"Ini kadang dialami bagi korban yang dilecehkan sedari kecil. Di usia seperti itu, mereka belum tahu fungsi seks itu apa. Karena ada perbuatan terus menerus, mengakibatkan korban kecanduan seks apalagi jika tidak ada penanganan psikososial terhadap korban tersebut," ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Sulawesi Selatan Rosmiati Sain mengatakan banyak perempuan korban kekerasan mendapat intimidasi ataupun ancaman. Sehingga mereka tidak punya kuasa untuk melawan.
"Korban bisa bawa ke jalur hukum untuk diproses lebih lanjut," ujarnya.
Para korban juga perlu mendapat trauma healing dari psikolog. Menurutnya, semua korban pelecehan seksual akan mengalami trauma dan ketakutan.
"Kasus seperti ini harus diusut tuntas. Bagaimana caranya? ya kita mendorong pengesahan RUU penghapusan tindak pidana kekerasan seksual. Selama ini tidak disahkan, maka perempuan akan merasa tidak aman," ungkapnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing