SuaraSulsel.id - Sidang lanjutan Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif, Nurdin Abdullah kembali dilanjutkan. Dua saksi dihadirkan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada Kamis (2/9/2021).
Dalam sidang yang dipimpin Majelis Hakim Ibrahim Palino, dua saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU), yakni istri terdakwa Edy Rahmat, Hikmawati dan sopirnya, Husain.
Saat persidangan berlangsung, Hikmawati diminta menjelaskan kronologi penangkapan Edy yang terjadi pada Jumat (26/2/2021).
Hikmawati mengaku, Edy sampai di rumah dinasnya di Jalan Hertasning sekitar pukul 22.00 Wita. Saat itu, Hikmawati sudah tidur.
Baca Juga:Saksi Ungkap Peran Istri Nurdin Abdullah Dalam Kasus Dugaan Suap
Namun, ia mengaku masih sempat melihat Edy membopong koper warna hijau ke dalam kamar. Koper itu kemudian ditaruh di samping ranjang.
"Saya tidak tahu kalau itu uang. Pikir saya, suami mau berangkat (ke daerah). Karena saat itu sudah mengantuk, saya dalam hati bilangnya tanya besok saja," ujarnya di Ruang Persidangan Harifin Tumpa.
Tak lama berselang, ada orang lain yang mengetuk pintu yang ternyata tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hikmawati hanya mendengar suara mereka secara samar. Ia mendengar KPK meminta koper yang di kamar tersebut.
"Suami saya yang bukakan pintu. Setelah dia keluar kamar, saya dengar suara dari luar dikatakan bahwa tim dari KPK. Setelah suami diinterogasi, langsung dibawa. Ada koper yang disita warna hijau," bebernya.
Baca Juga:Delapan Saksi Tunjuk Sari Pudjiastuti Sampaikan Perintah Nurdin Abdullah
Saat itulah Hikmawati baru tahu, jika yang ada dalam koper tersebut adalah uang. Namun, ia tak tahu menahu, uang tersebut dari siapa dan untuk siapa.
Keesokan harinya, Hikmawati kemudian membereskan rumah. Mereka rencana langsung pindah setelah penangkapan.
Hikmawati kemudian kembali menemukan uang di tas ransel, di kamar yang berbeda, jumlahnya mencapai Rp 500 juta.
"Saya sempat hitung uang yang diikat itu. Jumlahnya per ikat Rp 100 juta. Ada lima ikat dalam ransel itu," ungkapnya.
"Kemudian ada juga uang yang disimpan dalam plastik di dalam koper. Di ruangan yang sama dengan ransel. Jumlahnya Rp 321 juta dan Rp 80,5 juta," lanjutnya lagi.
Uang yang Rp 500 juta kemudian dibawa Hikmawati ke rumah kerabatnya di Gowa. Sementara Rp 321 juta lainnya dibawa kemana-mana di atas mobil.
"Uang itu sudah disita oleh KPK pada hari Senin tanggal 1 Maret. Mereka datang sita," tukasnya.
Sopir Nurdin Disemprot Hakim
Saksi lain, Husain turut dihadirkan pada persidangan tersebut. Husain adalah sopir pribadi Nurdin Abdullah selama 26 tahun.
Husain sempat ditegur Ibrahim Palino karena keterangan yang diberikan tidak sesuai. Husain menyebut terdakwa Edy Rahmat pernah menelponnya menanyakan keberadaan ajudan Nurdin, Syamsul Bahri sebelum operasi tangkap tangan (OTT).
Namun, JPU KPK menyangkal keterangan Husain. JPU bahkan memutar langsung rekaman percakapan antara Husain dan Edy. ekaman berdurasi 48 detik itu berisikan percakapan Edy Rahmat yang menanyakan keberadaan Nurdin Abdullah ke Husain, bukan Syamsul Bahri.
"Ini baru satu jam yang lalu saya ingatkan saudara, jangan main-main. Jangan beri keterangan yang bisa menyusahkan dirimu sendiri," tegas Ibrahim.
Ia kemudian mengingatkan Husain bahwa memberi keterangan yang palsu bisa dipidana. Apalagi disumpah di bawah Alquran.
"Kamu ini disumpah di bawah Alquran jadi jangan main-main," tuturnya.
Husain kemudian menceritakan kejadian itu. Menurutnya, sebelum kejadian, Nurdin Abdullah sempat ke Lego-lego. Namun, ia tak tahu sedang bertemu dengan siapa.
Terdakwa Edy Rahmat kemudian menelponnya dan menanyakan posisi mantan Bupati Bantaeng itu. Termasuk apakah sedang bersama istrinya, Liestiaty Fachruddin.
Husain menjawab, Nurdin sedang berada di Lego-lego bersama ajudan. Setelahnya, Edy menutup telepon dan mereka pulang ke rumah jabatan.
"Besok pagi jam 06.00, teman di rujab cerita kalau bapak sudah dibawa KPK," tutur Husain.
Diketahui, Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat didakwa pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001. Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Atau kedua, perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing