5 Rumah Adat Sulawesi Selatan, Lengkap Dengan Filosofinya

Kekayaan budaya Sulawesi Selatan dapat dilihat dari banyaknya rumah adat Sulawesi Selatan

Muhammad Yunus
Minggu, 15 Agustus 2021 | 13:38 WIB
5 Rumah Adat Sulawesi Selatan, Lengkap Dengan Filosofinya
Rumah adat Tongkonan Toraja, Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Kekayaan budaya Sulawesi Selatan dapat dilihat dari banyaknya rumah adat Sulawesi Selatan. Bukan hanya sekadar bangunan, rumah adat Sulawesi Selatan punya banyak makna dan filosofi.

Mau tahu rumah adat Sulawesi Selatan ? Berikut SuaraSulsel.id merangkumnya, sesuai dengan suku Sulawesi Selatan :

1. Tongkonan

Rumah adat ini milik suku Toraja. Tongkonan adalah yang paling menonjol dari semua rumah adat yang ada di Sulawesi Selatan.

Baca Juga:Sebagian Pasien Covid-19 Dirawat di Asrama Haji Makassar Dari Luar Daerah

Karakteristik konstruksi bangunannya berbeda. Karena selain untuk tempat tinggal, Tongkonan juga dijadikan sebagai tempat upacara untuk perkawinan atau kematian.

Tongkonan berdiri di atas tumpukan kayu dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Setiap guratan ukiran pada kayu ternyata memiliki nilai magis bagi pemiliknya.

Bentuknya terlihat seperti rumah panggung yang dilapisi ijuk hitam yang melengkung, bak perahu yang terbalik. Sementara di depannya terdapat tanduk kerbau. Semakin banyak tanduk, maka semakin menonjolkan kasta si pemilik Tongkonan.

Hampir semua warga Toraja punya Tongkonan. Itu karena Tongkonan melambangkan hubungan antara manusia dengan leluhur mereka, sehingga rumah ini digunakan sebagai pusat spiritual.

2. Langkanae

Baca Juga:6 Lagu Daerah Sulawesi Selatan, Nomor 6 Pernah Jadi Soundtrack Film

Langkanae adalah rumah adat suku Luwuk. Dulunya merupakan rumah dari para Raja-raja Luwu.

Keunikan Langkanae karena dibangun dengan 88 tiang berbahan utama kayu. Ukuran atapnya juga lebih besar dibandingkan badan rumah.

Rumah adat ini terdiri dari 3 ruangan dengan fungsi yang berbeda-beda. Setiap ornamennya menjadi pembeda untuk setiap kelas sosial.

Ruangan pertama diberi nama tudang sipulung dengan ukuran luas untuk menampung tamu. Kemudian, ruang tengah sebagai tempat privasi keluarga dan beristirahat. Pada ruang ketiga atau ruang belakang, terdiri dari dua kamar dengan ukuran kecil.

Ornamen rumah adat Luwuk juga disebut dengan bunga prengreng. Bunga ini melambangkan filosofi hidup yang menjalar sulur. Artinya hidup tidak terputus-putus.

3. Saoraja atau Bola

Suku Bugis dan Makassar sering digabungkan karena memiliki kesamaan budaya antara keduanya. Kedua suku ini sebenarnya serupa tapi tak sama.

Rumah Bugis terdiri dari dua jenis. Tergantung status sosial orang yang tinggal di rumah itu.

Rumah Saoraja (Sallasa) untuk keturunan raja atau kaum bangsawan. Sedangkan Bola untuk masyarakat biasa.

Karateristik rumah adat ini memiliki ciri khas atap yang berbentuk pelana dan memiliki timpalaja. Selain dipengaruhi oleh budaya tradisional, pembangunan rumah adat suku Bugis juga dipengaruhi oleh agama Islam.

Timpalaja atau disebut gevel (gable) merupakan bidang segitiga antara dinding dan pertemuan atap. Rumah adat Bugis sangat kaya akan filosofi. Tiap bagiannya punya makna tersendiri.

Pada sisi Bonting langiq, merupakan bagian atap rumah yang diberi rongga. Ini adalah lambang perkawinan di atas langit, yang dilakukan We Tenriabeng, saudari kembar Sawerigading yang merupakan permaisuri dari Remmang ri Langi alias Hutontalangi (Raja pertama Gorontalo).

Kemudian, Ale Kawaq adalah bagian tengah atau area pemilik rumah untuk tinggal. Bagian ini menggambarkan kondisi dari bumi pertiwi.

Sisi Buri Liu adalah bagian bawah atau kolong rumah sebagai tempat peliharaan hewan atau alat pertanian. Area ini melambangkan dunia bawah tanah dan laut.

Rumah adat di Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]
Rumah adat di Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

4. Balla

Balla adalah rumah adat suku Makassar. Bentukannya hampir mirip dengan rumah adat Bugis.

Dahulu rumah adat ini identik dengan rumah para bangsawan. Karateristik bangunannya berbentuk panggung.

Rumah ini memiliki tinggi sekitar 3 meter di atas tanah dan disangga oleh kayu yang jumlahnya 10 tiang. 5 penyangga ke arah belakang dan 5 penyangga ke arah samping.

Dulunya, rumah adat ini juga menggunakan atap yang terbuat dari bahan-bahan alam seperti rumbia atau nipah. Namun seiring perkembangan zaman, atap yang digunakan adalah seng atau genteng yang terbuat dari tanah liat.

Dalam arsitekturnya, rumah ini terbagi menjadi tiga yaitu bagian atap, inti rumah, dan kolong. Pada ruang teras disebut Dego-dego dan ruang tamu disebut Paddaserang Dallekang, terletak setelah pintu masuk.

Sementara, ruang tengah digunakan sebagai ruang keluarga. Untuk kamar khusus perempuan, dikhususkan di bagian belakang.

Balla juga memiliki makna filosofis dalam arsitekturnya. Misalnya, di puncak atap terdapat segitiga yang disebut timbaksela.

Simbol khusus ini menunjukkan kebangsawanan orang yang tinggal di rumah tersebut. Timbaksela yang disusun tiga atau lebih menunjukkan bangsawan, sedangkan segitiga yang tidak memiliki susunan adalah tanda masyarakat biasa.

5. Boyang

Rumah adat suku Mandar ini disebut Boyang. Dulunya, suku Mandar mendiami Sulawesi Selatan. Kini menjadi bagian dari Sulawesi Barat.

Sama seperti Balla, Boyang juga berbentuk rumah panggung. Sementara, ada dua tangga yang terletak di bagian depan dan belakang rumah. Jumlahnya juga harus ganjil, antara 7 hingga 13 anakan.

Uniknya, tiang-tiang penyangga tersebut tidak ditancapkan ke tanah, tetapi hanya ditumpangkan ke sebuah batu datar untuk mencegah kayu lapuk. Sementara, dinding rumah biasanya menggunakan papan yang telah diukir sesuai dengan motif khas suku Mandar.

Boyang juga ada dua jenis. Adaq dan Beasa. Adaq merupakan tempat tinggal bagi para bangsawan, sedangkan Beasa diperuntukkan untuk masyarakat biasa.

Rumah Boyang Adaq biasanya diberikan ornamen yang melambangkan identitas tertentu untuk mendukung tingkat sosial penghuninya. Rumah ini memiliki penutup bubungan.

Semakin banyak susunannya, berarti semakin tinggi derajat kebangsawanannya. Sementara, warna rumah kebanyakan menggunakan warna gelap.

Masih ada juga yang mempertahankan warna asli kayu sebagai bahan bakunya. Selain itu, jika melihat atapnya, Boyang mirip seperti ember yang miring ke depan.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini