Pertanyaan Ini Haram Diajukan Jurnalis ke Keluarga Korban Sriwijaya Air

Melanggar kode etik jurnalistik

Muhammad Yunus
Senin, 11 Januari 2021 | 14:42 WIB
Pertanyaan Ini Haram Diajukan Jurnalis ke Keluarga Korban Sriwijaya Air
Ibu dari penumpang pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak menujukkan foto anak dan cucunya di Kediri, Jawa Timur, Minggu (10/1/2021). (ANTARA/Ach)

SuaraSulsel.id - Abdul Manan, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengimbau jurnalis dan media memperhatikan aspek etik dalam liputan dan pemberitaan kecelakaan pesawat Sriwijaya Air.

Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 rute Jakarta–Pontianak (PNK) ditemukan jatuh pada 9 Januari 2021 pukul 14.40 WIB di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Setelah sebelumnya dilaporkan hilang kontak. Pesawat tersebut diawaki oleh 6 kru aktif, 6 kru tambahan, serta mengangkut 40 penumpang dewasa, 7 anak-anak dan 3 bayi.

Peristiwa ini mendapat liputan luas media massa. Media menugaskan jurnalisnya meliput ke lokasi dugaan jatuhnya pesawat, mewawancarai banyak nara sumber, termasuk otoritas penerbangan dan keluarga korban.

Baca Juga:Jangan Sebar Hoaks Seputar Musibah Pesawat Sriwijaya Air

"Dalam tahapan proses peliputan dan pemberitaan inilah dilaporkan ada yang dinilai tidak sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ)," kata Manan dalam rilisnya, Senin 11 Januari 2021.

Ada beberapa contoh tindakan jurnalis yang dinilai tidak sesuai KEJ. Antara lain, jurnalis yang mencecar dengan pertanyaan "bagaimana perasaan Anda”, “Apa Anda punya firasat sebelumnya" dan lain-lain. Kepada seseorang yang keluarganya menjadi korban kecelakaan.

Ada juga media yang mengangkat topik soal gaji pilot pesawat nahas itu. Contoh tersebut mengesankan jurnalis dan media kurang menghormati pengalaman traumatik keluarga korban dan juga publik.

"Ada juga media yang menulis soal ramalan kejatuhan pesawat itu yang sumbernya dari peramal," ungkap Manan.

Beberapa contoh proses liputan dan pemberitaan yang menjadi kritik terhadap jurnalis dan media dalam kasus Srwijaya Air ini.

Baca Juga:Kisah 3 Orang Lolos dari Maut Sriwijaya Air Jatuh, Ajal Belum Memanggil

Sikap menghormati pengalaman traumatis korban memang tidak disebut eksplisit dalam Pasal 2 KEJ, namun itu terdapat penjelasannya.

Pasal 2 KEJ mengatakan, “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”. Salah satu bentuk dari sikap profesional itu adalah “menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara.”

Menghormati pengalaman traumatis narasumber adalah impementasi dari prinsip minimizing harm atau meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak kerja jurnalistik.

Prinsip ini pula yang menjadi dasar penyamaran identitas anak pelaku kejahatan dan korban kejahatan susila dalam pasal 5 KEJ.

Beberapa prinsip penting lain dalam KEJ adalah: fungsi jurnalisme “mencari kebenaran”, “bekerja untuk kepentingan publik”, “berusaha menjaga independensi”.

RS Polrk konfrensi pers soal kasus pesawat Sriwijaya Air jatuh. (Suara.com/Bagaskara)
RS Polrk konfrensi pers soal kasus pesawat Sriwijaya Air jatuh. (Suara.com/Bagaskara)

4 Seruan AJI untuk Jurnalis Peliput Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air

Melihat bagaimana jurnalis dan media meliput dan mempublikasikan berita soal peristiwa kecelakaan Sriwijaya Air tersebut, AJI Indonesia menyerukan:

1.Jurnalis dan media harus menghormati pengalaman traumatik keluarga korban Sriwijaya Air dengan tidak mengajukan pertanyaan yang bisa membuatnya lebih trauma, termasuk dengan pertanyaan “Bagaimana perasaan Anda” dan semacamnya.

Jurnalis juga harus mengormati sikap keluarga korban jika tidak bersedia diwawancara atau menunjukkan sikap enggan digali informasinya.

Tugas jurnalis memang mencari informasi, namun hendaknya juga memperhatikan hak narasumber untuk dihormati perasaan traumatik atau sikap enggannya.

Sebagai bagian dari sikap penghormatan ini, media juga hendaknya tidak mengeskploitasi informasi, foto, atau video yang bisa menimbulkan trauma lebih lanjut bagi keluarga dan publik.

2.Jurnalis dan media hendaknya tetap memegang prinsip profesionalisme seperti diatur dalam pasal 2 Kode Etik Jurnalistik.

Salah satu prinsip bekerja secara profesional adalah dengan menggunakan sumber informasi yang kredibel dan kompeten.

Semangat untuk menggali informasi dari banyak sumber adalah hal yang baik untuk mencari kebenaran, namun pemilihan sumber tetap harus mempertimbangkan kredibilitas dan kompetensinya.

Menggunakan sumber dari seorang “peramal” sebagai bahan berita kecelakaan seperti ini adalah tindakan yang kurang patut.

3.Media sebaiknya lebih fokus menjalankan fungsi “informatif” dan “kontrol sosial” dan menghindari sisi yang relevansinya jauh dari peristiwa, apalagi kalau sampai mengesankan tidak menghormati pengalaman traumatik keluarga korban.

Mengangkat soal gaji pilot atau awak penerbangan dan semacamnya mungkin bersifat informatif, tapi kurang tepat pada saat sekarang ini.

Kecuali ada indikasi kuat dalam proses penyelidikan bahwa itu menjadi faktor signifikan dalam kecelakaan. Akan lebih bermanfaat jika jurnalis dan media fokus pada memberi update terbaru tentang peristiwa sehingga bisa membantu publik, termasuk keluarga, dalam bertindak.

Jurnalis dan media juga perlu lebih mengungkap soal aspek tanggungjawab dari perusahaan dan otoritas penerbangan soal keamanan dan kelaikan pesawat, agar bencana serupa tak terulang di masa mendatang.

4.Jurnalis juga perlu tetap mengikuti protokol kesehatan dalam liputan kecelakaan Sriwijaya Air ini, dengan tetap memakai masker dan menjaga jarak fisik yang aman untuk menghindari penularan Covid-19.

Selain soal kesehatan, yang juga tetap harus diperhatikan adalah aspek keselamatan dalam liputan. Jurnalis yang bertugas dalam liputan pencarian korban dan puing pesawat di Kepulauan Seribu, hendaknya menggunakan alat keselamatan seperti baju pelampung.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini