Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Selasa, 13 Agustus 2024 | 16:02 WIB
Pasien Akbar (3 tahun) usai menjalani operasi pemasangan implan koklea di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar [SuaraSulsel.id/Istimewa]

SuaraSulsel.id - Yeyen S. Huyo tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya. Ia hanya bisa menangis haru melihat anaknya yang baru berusia 3 tahun digiring oleh perawat keluar dari kamar operasi.

Akbar Rama Nggolitu (3), putra bungsu Idris dan Yeyen menjalani operasi alat bantu dengar atau pemasangan implan koklea di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar pada Senin,12 Agustus 2024.

Operasi ini baru pertama kali dilakukan oleh dokter THT di RS Wahidin.

Akbar dirujuk ke RS Wahidin Sudirohusodo Makassar melalui perintah langsung Presiden RI Joko Widodo.

Baca Juga: Lomba Mewarnai Bendera Generasi Alfa, Upaya Jaga Nasionalisme di Era Digital

Sang ibu, Yeyen S. Huyo mengatakan butuh perjuangan panjang untuk mendapatkan operasi gratis bagi anaknya yang menderita tuna rungu sejak lahir.

Warga asal Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo itu nekat menemui Presiden Jokowi pada bulan April 2024, saat sedang melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Gorontalo.

Yeyen tak ingin ketinggalan momen. Ia tekadkan bertemu Presiden secara langsung dan ingin memberikan selembar surat.

Surat itu isinya permintaan agar Presiden bisa membantu dua anaknya, Iren dan Akbar yang mengalami tuna rungu sejak lahir. Sementara, butuh ratusan juta untuk melakukan operasi bagi satu anak.

"Saya lihat ada jadwal kunjungan Presiden di Gorontalo. Dijadwalkan akan bermain bola dan ke mall. Saya kejarlah kesana," ucapnya.

Baca Juga: Presiden Jokowi Kalah di Pengadilan, Abdul Hayat Gani Kembali Berkantor di Pemprov Sulsel

Seusai bekerja hari itu, Yeyen meminta tolong ke temannya untuk diantar ke lapangan bola Linowo. Di sana Jokowi dijadwalkan akan bermain bola dengan anak-anak.

Sudah menempuh perjalanan 30 kilometer lebih, namun sayang hasilnya nihil. Yeyen hanya mendapat kaos hitam bergambar wajah Presiden.

"Banyak masyarakat dan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Tidak bisa tembus saya," sebutnya.

Yeyen tak menyerah. Ia dan temannya tancap gas lagi ke mal.

Di mal itu, ia menunggu di baris paling depan. Tak ingin lagi ia menyia-nyiakan kesempatan.

Sayangnya, ketika Jokowi datang, Yeyen terdorong dan tak sempat berjabat tangan.

Namun, tangan kanannya sempat dipegang oleh salah seorang Paspampres. Surat yang ada di tangan Yeyen pun ikut terambil.

"Tangan saya dipegang Paspampres. Saya fikir pengunjung atau orang lain yang ambil. Saya sudah pasrah kalau surat untuk Presiden tidak bisa saya kasih langsung," ucapnya.

Di dalam hati kecilnya ia berharap besar surat itu bisa sampai ke tangan Presiden. Kalaupun tidak, setidaknya tidak dibuang ke tempat sampah.

"Saya hanya ingin mereka berdua bisa mendengar dan panggil saya dengan sebutan mama. Saya sedang bekerja untuk masa depan mereka lebih baik, tapi biayanya tidak cukup," tuturnya.

Ternyata, usaha dan doanya dikabulkan. Seminggu kemudian ia mendapat telepon dari nomor tak dikenal.

Orang yang menelpon itu mengaku Paspampres dari istana dan diutus langsung oleh Presiden Jokowi menghubunginya.

"Dia tanya data diri dan anak-anak, saya sempat berfikir apa ini penipuan. Tetapi Paspampres meyakinkan. Hingga akhirnya ia mulai sadar kalau ini betulan perintah dari presiden," ucap Yeyen tak kuasa menahan air matanya.

Setelahnya, Dinas Kesehatan Gorontalo datang menemui dan melihat kondisi Akbar. Mereka lalu diminta untuk berangkat ke Makassar menjalani pemeriksaan.

"Saya punya dua anak yang mengalami gangguan pendengaran. Tapi untuk saat ini yang di operasi dulu baru Akbar," ungkapnya.

Pemasangan alat bantu tersebut merupakan bantuan dari Presiden Jokowi dan Kementerian Kesehatan RI. Operasi berjalan lancar dan memakan waktu sekitar 4 jam.

Ini dilakukan di kamar bedah sentral RS Wahidin sudirohusodo Makassar, Senin kemarin.

Operasi bertujuan untuk memperbaiki fungsi pendengaran dengan mengambil alih fungsi koklea yang dapat mengubah gelombang suara, berupa energi mekanik menjadi impuls listrik.

Dokter THT RS Wahidin sekaligus ketua tim Profesor Eka Savitri mengatakan Akbar mengalami gangguan pendengaran atau penyakit bawaan sejak lahir.

Persiapan operasi dilakukan sejak beberapa bulan sebelumnya. Dimulai dari pemeriksaan pendengaran, pemeriksaan CT Scan dan MRI, pemasangan ABD, pemeriksaan.

"Kami telah menerima pasien rujukan ini dari RS Gorontalo sejak bulan Juli dan kami langsung membentuk tim guna mensukseskan dan mengupayakan yang terbaik bagi pasien Akbar," ucapnya.

Menurutnya, anak dapat terindikasi mengalami gangguan pendengaran apabila sebagian telinganya tidak berfungsi dengan baik.

Seringkali, alat bantu dengar dapat mengkompensasi hilangnya pendengaran dengan membuat suara lebih keras dan lebih mudah didengar. Namun, jika kondisi hilangnya pendengaran terlalu parah, mengeraskan suara tidak akan cukup.

"Implan koklea adalah perawatan standar untuk anak-anak dengan gangguan pendengaran berat hingga sangat berat," ucapnya.

Sehingga, jika terjadi gangguan pendengaran sejak lahir, tentu akan membuat kemampuan berbicara anak akan lambat, tidak sempurna atau bahkan menjadi bisu tuli sesuai derajat gangguan pendengaran yang dialami.

Eka menjelaskan, perangkat ini membuat suara lebih jelas dan lebih mudah dipahami dengan memintas (bypass) bagian koklea yang rusak dan mengirimkan suara langsung ke saraf pendengaran anak.

"Jadi anak-anak mampu berbicara dan berkomunikasi karena ia mendengar dan belajar dari apa yang ia dengar di lingkungan sehari-harinya," ucapnya.

Surat dari seorang ibu ke Presiden Jokowi [SuaraSulsel.id/Istimewa]

Belum Tercover JKN

Pengurus Perhimpunan Ahli Ilmu Penyakit THT atau Perhati-KL, Fikri Mirza Putranto mengatakan operasi koklea untuk anak sudah dilakukan sejak tahun 2002. Sayangnya biaya tindakan bedahnya belum semua dicover oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Kalau di Sulawesi, RS Wahidin menjadi pengampu. Namun sejauh ini memang biayanya belum di-cover oleh JKN," ucap Fikri yang juga merupakan salah satu anggota tim operasi Akbar.

Ia menambahkan, Perhati-KL mendorong agar penyediaan alat bisa ditanggung oleh pemerintah. Sehingga anak-anak yang memang mengalami gangguan pendengaran bisa mendapatkan hak untuk mendengar.

Ia berharap anak-anak bisa merdeka untuk mendengar, terbebas dari salah satu kendala tak kasat mata (invisible disability) yaitu gangguan pendengaran atau ketulian.

"Saat ini ketersediaan alat terbatas. Jadi kami memohon kepada Presiden untuk disiapkan alatnya lagi, sehingga bisa bermanfaat anak-anak dalam meraih masa depan yang lebih cemerlang," tutup Fikri.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More