SuaraSulsel.id - Moncongloe artinya tempat yang tinggi. Letaknya di berada di Kabupaten Maros. Berbatasan dengan Kota Makassar, dan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Sekitar tahun 1969, Moncongloe pernah dijadikan sebagai tempat pengasingan bagi para tahanan politik atau tapol yang dicurigai sebagai simpatisan atau terafiliasi dengan gerakan Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Moncongloe adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah Indonesia di pulau Sulawesi pada era Orde Baru.
Dalam buku berjudul "Kamp Pengasingan Moncongloe" karya Taufik Ahmad (2008), disebutkan para tapol di Moncongloe berasal dari penjara-penjara di beberapa daerah. Baik dari dalam, maupun dari luar Sulawesi Selatan.
Ada 911 orang yang diasingkan disana. Sebanyak 52 Perempuan dan 859 Laki-laki yang didatangkan secara bergelombang mulai tahun 1969 sampai 1971.
Bahkan ada puluhan dosen dan mahasiswa Universitas Hasanuddin. Salah satunya adalah Rasjidi Amrah, mahasiswa Fakultas Teknik Unhas.
Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer. Sebab, wilayah itu dikelilingi markas militer Kodam XIV Hasanuddin.
Tapol ini didatangkan dari Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan Selayar.
Akan tetapi, tidak semua penghuni Inrehab Moncongloe murni anggota PKI. Sebagian dari mereka hanya karena korban salah tangkap atau mereka yang di PKI-kan.
Baca Juga: Unhas Terbitkan Peraturan Rektor Terkait Kampanye Dalam Kampus
Rasjidi mengaku tidak masuk dalam Pemuda Rakyat, ataupun Lekra. Namun, ia ikut diamankan saat berada di Majene, Sulawesi Barat.
"Itulah nasib, mau melawan tidak bisa," katanya.
Di tahanan, Rasjidi Amrah dimanfaatkan oleh petugas. Dia diminta menggambar desain masjid, gereja, dan pembangunan barak.
Mereka juga disuruh mengerjakan proyek tentara seperti membuka kebun yang luasnya tergantung pangkat yang dimiliki tentara tersebut. Ada sekitar empat hingga enam hektar.
Intinya, para Tapol tidak hanya dituntut untuk memenuhi kehidupannya, tapi juga harus mampu memenuhi kebutuhan militer. Baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas Inrehab.
"Jika mereka lihat kita malas, mereka akan marah," kata tahanan lain.
Pengasingan terhadap Tapol baru berakhir pada tahun 1979. Namun, persoalan hidup mereka belum selesai.
Mereka dikucilkan. Pandangan terhadap Tapol PKI sudah terlanjur negatif karena stigma di masyarakat selama ini.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
3 Rekomendasi HP 1 Jutaan Baterai Besar Terbaru, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Menkeu Purbaya Pernah Minta Pertamina Bikin 7 Kilang Baru, Bukan Justru Dibakar
-
Dapur MBG di Agam Dihentikan Sementara, Buntut Puluhan Pelajar Diduga Keracunan Makanan!
-
Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
-
Harga Emas Antam Terpeleset Jatuh, Kini Dibanderol Rp 2.235.000 per Gram
Terkini
-
Andi Sudirman Luncurkan Mesin Pencetak KTP Mobile Pertama di Sulsel
-
Motif Aneh Pria Pembakar Masjid di Sulsel: Larang Perempuan Salat
-
Wali Kota Buka Asnawi Mangkualam Cup 2025: Jangan Jadi Pertandingan Karate!
-
Alasan Menteri Hukum Tandatangani SK Kepengurusan PPP Kubu Mardiono
-
Wagub Sulsel Geram: Tutup Dapur Makan Bergizi Gratis yang Tak Layak!