Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Jum'at, 11 Februari 2022 | 19:57 WIB
Nasabah korban gagal bayar AJB Bumiputera 1912 berdemo di depan kantor OJK, Jakarta. (Suara.com/Yaumal)

Pak Ris, sekadar pengetahuan pak, setiap kali Indonesia mengalami krisis, maka Bumiputera juga akan mengalami krisis. Krisis 1932 (resesi dunia), 1945 (kantor Bumiputera bahkan ikut dibom sekutu), tahun 1965 (peristiwa sanering), tahun 1997-1999 (krisis moneter), tahun 2018 (krisis ekonomi), selalu membuat keuangan Bumiputera berdarah-darah.

Apakah perusahaan asuransi Indonesia yang lain tidak berdarah-darah? Mungkin iya. Tapi mereka memiliki pemegang saham yang siap menyuntikkan dana ketika RBC-nya mengalami negatif. Tidak demikian dengan Bumiputera, pak. Perusahaan Mutual tidak mengenal mekanisme penambahan modal. Mau nambah modal dari mana? Wong ini milik masyarakat pemegang polis.

Lalu bagaimana manajemen pendahulu kami melakukan perbaikan? Mereka melakukan ‘self- healing’. Mereka memperbaiki kondisi perusahaan secara gradual, sesuai kondisi keuangan berjalan dan upaya-upaya kreatif manajemen, sembari tetap memperhatikan kewajiban kepada pemegang polis.

Pembayaran klaim selalu mereka nomorsatukan, yang lain bisa disolusi kemudian. Ini yang menjadi rahasia mengapa Bumiputera bisa menjadi pemimpin pasar di industri asuransi selama berpuluh tahun.

Baca Juga: Soal Seleksi Anggota DK OJK, Faisal Basri Sebut Sulit Mengukur Kinerja OJK karena Tak Diawasi

Dengan diterapkannya RBC, perbaikan secara gradual tidak lagi bisa dilakukan. Peraturan ini memaksa kami masuk ke sistem yang tidak kompatibel dengan kondisi perusahaan Mutual. Setiap kali terjadi negative spread, regulator mengingatkan agar kami harus melakukan berbagai cara untuk mengejar RBC.

Pihak Anda juga memaksa kami untuk mengalihkan aset properti ke outlet keuangan yang lain, karena komposisi aset Bumiputera tidak selaras dengan peraturan yang ada dalam RBC.

Dalam kondisi babak belur, pasca krisis moneter 1997-1999, Bumiputera dipaksa memenuhi RBC dalam waktu singkat di saat nilai klaim melambung. Jika tidak, berbagai sanksi menunggu untuk dijatuhkan.

Apakah Anda pernah menyadari betapa sulitnya perusahaan yang tidak memiliki mekanisme penambahan modal, tapi dipaksa memenuhi ratio kecukupan modalnya di saat krisis baru saja berlangsung?

Tidak syak, manajemen Bumiputera seperti pemain akrobat, harus jungkir balik agar bisa mengejar tuntutan kecukupan modal. Di saat yang sama, setiap kali laporan keuangan dipublikasi dan RBC tidak terpenuhi, pihak Anda akan mengirimkan surat peringatan, memberi sanksi seperti pembatasan penerbitan produk baru, dan seterusnya.

Baca Juga: Banyak Ancaman, OJK Wacanakan Penagihan Pinjol Tidak Boleh Pakai Debt Collector

Perlahan tapi pasti, pasar Bumiputera mulai terganggu, apalagi media sudah mulai rajin menulis tentang kondisi keuangan Bumiputera versi RBC. Dan karena RBC tidak kunjung terpenuhi, lama- lama pihak Anda mulai melabeli manajemen Bumiputera tidak kompeten, lalu meminta BPA memasukkan direktur dari luar yang tidak memahami persoalan Bumiputera.

Skandal di bidang investasi mulai bermunculan, atas nama upaya memenuhi tuntutan regulasi. Apalagi aset-aset properti Bumiputera cukup menggiurkan, pak. Bongkar-pasang direksi menjadi ‘mainan’ baru.

Entah siapa yang dimainkan, dan siapa yang memainkan. Program-program kerja dan proses pengkaderan Bumiputera yang selama ini sangat tertib, menjadi berantakan. Tidak ada lagi strategi jangka panjang yang bisa berjalan.

Bagaimana bisa memiliki visi jangka panjang, jika direktur setiap tahun diganti? Kader internal yang diangkat menjadi direktur pun dihantui rasa was-was karena mereka bisa dicopot setiap saat tanpa ampun dan tanpa penjelasan memadai.

Dan terakhir, Anda mengirimkan Pengelola Statuter yang gagal itu ke Bumiputera. PS yang bukan hanya memerosotkan kinerja Bumiputera hingga ke titik nadir, tapi membuat perusahaan ini berdiri di tubir jurang.

Pak Riswinandi yang saya muliakan,

Saat ini Anda ngotot untuk menerapkan Pasal 38 Anggaran Dasar Bumiputera, mendesak agar kerugian dibagi rata ke pemegang polis. Mengapa Anda tidak menerapkan itu ketika OJK menguasai Bumiputera melalui Pengelola Statuter?

Load More