Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Sabtu, 18 Desember 2021 | 09:32 WIB
Mahasiswa UIN Alauddin Makassar masuk dalam kampus menggunakan sepeda motor [SuaraSulsel.id/Muhammad Aidil]

Dalam aturan Peremendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi, kata Budhy, juga memuat sanksi yang akan diberikan kepada pelaku. Sebagai tindaklanjut kepada pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual. Sehingga, pimpinan kampus hanya mengikuti aturan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 mengenai PPKS.

"Kalau diikuti itu mereka sudah tidak perlu berpikir lagi untuk membuat instrumen, aturan seperti apa, tata caranya. Tinggal mengikuti saja," kata dia.

Nah, jika telah ada kasus kekerasan seksual dengan modus memasang kamera di kamar mandi di UIN Alauddin Makassar. Seharusnya, pihak kampus dapat bertindak cepat dengan melakukan patroli untuk mengecek apakah semua kamar mandi di kampus itu memang aman untuk digunakan atau tidak.

Para korban yang merasa terganggu dengan aksi kekerasan seksual dapat segera menyampaikan persoalan tersebut. Agar pihak kampus dapat segera melakukan evaluasi.

Baca Juga: Tak Masuk Paripurna, Ketua Panja RUU TPKS: Kami akan Berjuang Terus

"Langsung disampaikan supaya pihak kampus punya evaluasi. Kan pelakunya itu-itu juga," katanya.

ilustrasi kekerasan seksual. [ema rohimah / suarajogja.id]

Kekerasan Seksual Butuh Penanganan Khusus

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang mengungkapkan penyebab kasus kekerasan seksual kerap kali terjadi di lingkungan kampus akibat lemahnya penanganan kasus di kampus.

Hal ini terjadi karena pelakunya adalah orang terdekat di lingkungan kampus seperti dosen, mahasiswa ataupun karyawan kampus sehingga turut menyebabkan keengganan korban untuk melapor.

"Relasi kuasa yang tidak timpang menjadikan korban takut untuk melaporkan," kata Veryanto kepada SuaraSulsel.Id, saat dikonfirmasi awal Desember 2021 lalu.

Baca Juga: Tersangka Kasus Pencabulan, Praperadilan Putra Kiai di Jombang Ditolak

Sedangkan penyebab lainnya lagi, kata Veryanto, ialah minimnya akses korban terhadap pemulihan. Terutama penanganan psikologis korban. Agar dapat mengikuti kembali proses belajar yang menjadi hak pendidikannya.

Minimnya pengaduan kekerasan seksual di perguruan tinggi, menunjukkan bahwa tidak semua perguruan tinggi mempunyai aturan yang jelas. Implementatif dan efektif terkait dengan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), termasuk pemulihan korban.

Bukan cuma itu, kata dia, penanganan kasus kekerasan seksual juga masih sering disamakan dengan pelanggaran etik lain. Padahal kekerasan seksual memiliki sifat khas dan mengalami kerentanan berlapis.

Menurut Veryanto, dalam konteks kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terjadi karena relasi kuasa yang menimbulkan ketidakberdayaan korban. Umumnya pelaku memanfaatkan kerentanan, ketergantungan dan kepercayaan korban terhadapnya.

"Selain itu belum semua pimpinan punya perspektif korban. Sehingga terjadi pengabaian dan penyangkalan terjadinya kekerasan seksual dan mengkhawatirkan reputasi nama baik kampus," kata dia.

"Budaya misoginis, seksis dan tidak ramah terhadap perempuan juga masih terjadi di lembaga pendidikan yang menyebabkan korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan yang menyebabkan berkurang atau terlanggarnya hak asasinya sebagai perempuan maupun peserta didik," tambah Veryanto.

Load More