Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Selasa, 23 November 2021 | 19:06 WIB
Nurdin Abdullah dihadirkan secara virtual, dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu 29 September 2021 [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Tim kuasa hukum Gubernur Sulsel non aktif Nurdin Abdullah memohon kepada majelis hakim tindak pidana korupsi. Agar memerintahkan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka rekening milik kliennya.

Hal tersebut dikatakan salah satu anggota kuasa hukum terdakwa Nurdin Abdullah, Arman Hanis. Saat membacakan nota pembelaan di Pengadilan Negeri Makassar, Selasa, 23 November 2021. Arman berdalih pemblokiran rekening Nurdin Abdullah tidak relevan dengan kasus suap dan gratifikasi yang menyeret mantan Bupati Bantaeng itu.

"Oleh karena itu kami minta agar segera dibuka. Karena pemblokiran tersebut tidak relevan," kata Arman.

Salah satu rekening Nurdin Abdullah yang diblokir adalah rekening gaji. Padahal, kata Arman, Nurdin Abdullah adalah tulang punggung keluarga. Ia punya istri, anak dan cucu yang harus dihidupi.

Baca Juga: Pengacara Sebut Sari Pudjiastuti yang Pantas Dihukum, Bukan Edy Rahmat

Selain rekening, penasihat hukum juga meminta agar majelis hakim mencabut atau meminta JPU membuka blokir atas tanah sertifikat hak milik di kawasan Pucak Maros. Menurut Arman, tanah itu dibeli menggunakan uang pribadi, bukan uang suap.

Arman juga meminta agar KPK membebaskan terdakwa Nurdin Abdullah dari segala dakwaan. Atau setidaknya dinyatakan lepas dari segala tuntutan, seperti pidana tambahan dengan membayar denda sebesar Rp3,3 miliar dan 350.000 dolar Singapura.

"Kami juga meminta agar KPK membebaskan terdakwa Nurdin Abdullah dari hukuman tambahan. Berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun dan mengeluarkan Nurdin Abdullah dari rumah tahanan KPK," tegasnya.

Arman berharap majelis hakim yang memeriksa dan mengadili bisa memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya. Apalagi dari sejumlah fakta persidangan, banyak tuntutan dari JPU yang tidak bisa dibuktikan.

Arman mengaku JPU tidak bisa membuktikan pasal suap dan gratifikasi yang didakwakan terhadap Nurdin Abdullah. Makanya, ia optimistis kliennya bisa bebas.

Baca Juga: Masjid Nurdin Abdullah Dibangun dari Uang Korupsi, Bagaimana Hukumnya Dipakai Salat?

"Sehingga menurut kami pak Nurdin layak dibebaskan. Jadi seperti itu ringkasan pledoi kami dari 879 halaman," beber mantan pengacara artis Syahrini itu.

JPU Kecewa

Sementara, JPU KPK Rikhi Benindo mengungkapkan kekecewaannya terhadap kuasa hukum Nurdin Abdullah. Kata Rikhi, tim kuasa hukum terdakwa hanya mengungkit sedikit fakta yang menguntungkan kliennya saja.

"Kami kecewa dengan kuasa hukum yang hanya mengungkit sedikit fakta, tidak secara utuh. Jika secara utuh maka tentu analisanya akan berbeda," ujar Rikhi.

Ia menjelaskan, KPK akan tetap pada tuntutannya. Mereka yakin mendakwa Nurdin Abdullah dengan pasal suap dan gratifikasi, apalagi jika dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi di persidangan. Bukan keterangan Nurdin Abdullah semata.

"Pada intinya mereka minta dibebaskan karena menganggap dakwaan kami, baik penerimaan suap maupun gratifikasi tidak terbukti. Mereka menilai apa yang kami analisa di tuntutan hanya asumsi. Tapi apa yang kami sampaikan itu fakta persidangan," tegasnya.

Rikhi mengaku heran, sebab Nurdin Abdullah dan kuasa hukumnya tidak konsisten. Di satu sisi mereka minta terdakwa bebas, di sisi lain juga minta keringanan hukuman.

Namun semua keputusan ada pada majelis hakim. Langkah KPK selanjutnya akan ditentukan jika majelis hakim sudah menjatuhkan vonis kepada terdakwa pada tanggal 29 November 2021.

Diketahui, JPU KPK sudah menuntut Nurdin Abdullah dengan hukuman 6 tahun penjara. Jaksa juga meminta hakim menjatuhkan denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Nurdin sendiri dijerat pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kemudian Pasal 12 B, Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More