Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Sabtu, 13 November 2021 | 12:50 WIB
Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal Muhammad Yusuf Makassar [SuaraSulsel.id / Muhammad Aidil]

SuaraSulsel.id - Keluarga Ince Baharuddin, penggugat sejumlah lahan milik negara di Kota Makassar mengaku kesal. Mereka disebut mafia tanah.

Putri Ince, Erna Andriani mengatakan, pihaknya menolak jika disebut mafia tanah. Mereka menggugat ke pengadilan karena ingin membuktikan alas hak dari tanah tersebut.

Ia menegaskan enam lahan yang digugat ke pengadilan itu adalah warisan dari buyutnya. Mereka punya sejumlah dokumen sebagai bukti.

Diantaranya jalan tol di Pelabuhan. Hingga kini mereka tidak menerima ganti rugi dari lahan tersebut.

Baca Juga: Cara Bupati Gowa Selamatkan Aset Daerah dari Mafia Tanah

"Kami punya surat-suratnya makanya kami tuntut. Apakah (surat) itu masih kepunyaan kami atau sudah diambil alih pemerintah," ujar Erna, Jumat, 12 November 2021.

Erna menyebut jika keluarganya adalah mafia tanah, maka lahan itu sudah diambil paksa. Bahkan menggunakan jasa preman.

Namun, mereka menggugat dengan cara terhormat. Yakni ke pengadilan.

Dari enam lahan yang digugat, dua diantaranya sudah inkrah. Pengadilan memutuskan keluarganya harus menerima ganti rugi Rp150 miliar.

"Sisanya masih dalam tahap kasasi dan ada yang masih berproses di pengadilan," tambahnya.

Baca Juga: Warga Sulsel Diminta Laporkan Kasus Mafia Tanah ke KPK

Awalnya, kata Erna, lahan itu dibeli oleh buyutnya, Ince Muhammad Saleh. Dulu, ia bekerja sebagai pegawai pajak pada zaman penjajahan Belanda.

Tanah itu kemudian diserahkan ke anaknya bernama Ince Koemala. Sehingga semua aset itu atas nama Ince Koemala.

Ince Koemala adalah nenek dari Erna. Bahkan sesama keluarganya juga saling klaim soal lahan tersebut.

"Jadi keliru kalau dibilang kami ini mafia. Bahkan kami saja anak-anak dan cucunya saling berperkara juga," tegasnya.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menekankan pentingnya penyelamatan aset milik negara. Olehnya itu, Pemerintah Daerah perlu mengamankan sejumlah aset negara.

Di Kota Makassar, KPK menyebut ada tujuh aset negara yang digugat dan adapula dikuasai pihak lain.

Yakni Masjid Al Markaz, Pasar Pannampu, Jalan Tol Pelabuhan, Gardu Induk PLN di Latimojong, PWI Sulsel, Pacuan Kuda, dan Lahan Empang Unhas di Baddoka.

KPK merekomendasikan agar dilakukan pengembalian atau penertiban aset OPD yang masih dikuasai oleh pensiunan.

Salah satunya yang telah menjalani peradilan, lahan Masjid Al Markaz yang telah dimenangkan oleh Pemerintah. Meski sudah menang dalam Peradilan, disarankan agar proses hukum terhadap penggugat tetap dilanjutkan.

Diharapkan aset lainnya segera diamankan dan diambil alih oleh pemerintah daerah sehingga pemanfaatannya bisa lebih dioptimalkan untuk masyarakat yang bisa meningkatkan PAD daerah.

Plt Deputi Koordinasi dan Supervisi KPK, Yudhiawan Wibisono menegaskan, pemerintah daerah tidak boleh membiarkan aset negara hilang. Jika hal itu terjadi, maka sudah termasuk dalam tindak pidana korupsi (tipikor).

"Siapapun terlibat tipikor, mau dia mafia tanah, aparat pemerintahan, penegak hukum, ya akan kami tangani," ujarnya di Kantor Gubernur, baru-baru ini.

Aset negara, kata Yudhiawan, harus digunakan untuk kepentingan negara dalam rangka melayani masyarakat. Menurutnya, istilah mafia tanah adalah kedok bagi orang-orang tanpa integritas dan komitmen yang berlindung di balik institusi.

Mereka kerap membocorkan data agar bisa dipalsukan untuk dapat menguasai aset negara. Parahnya, oknum tanpa integritas ini masuk ke semua lini. Mulai dari Pemprov, Kepolisian Kejaksaan hingga pengadilan. Mereka mengincar keuntungan dari aset tersebut yang nilainya bisa mencapai ratusan miliar.

"Makanya yang semacam itu harus kami tangani. Mereka mungkin bekerjasama dengan orang yang punya niat jahat dalam rangka untuk menguasai tanah itu. Dan nanti uang yang harusnya masuk ke negara, malah dibagi-bagikan," bebernya.

Sejauh ini, KPK telah melakukan upaya koordinasi dalam rangka pencegahan. Antara lain menagamen aset yakni menyelamatkan aset negara hingga bersertifikat agar tidak bisa berpindah tangan.

"Pengamanan aset bekerjasama dengan institusi lain seperti Pemda, Pemprov, termasuk BPN dan BUMN," ujarnya.

Yudhiawan menambahkan, permasalahan aset lainnya di pemerintah daerah adalah masih rendahnya tingkat sertifikasi aset. Pihaknya mencatat, total aset di 25 Pemda se-Sulsel sebanyak 110.155 bidang tanah.

Namun yang bersertifikat, baru 12.457 bidang atau 11,39 persen. Sisanya sebanyak 97,608 bidang belum bersertifikat.

"Dari data Pemda kepada KPK sertifikat tanah yang terbit sepanjang Januari - Oktober 2021 sebanyak 218 bidang. Ini harus ada akselerasi. BPN pasti akan menertibkan sertifikat, kuncinya clean and clear," tukasnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More