Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Senin, 18 Oktober 2021 | 13:50 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak di bawah umur. [SuaraJogja.com / Ema Rohimah]

Komnas Perempuan berpendapat bahwa pemeriksaan kasus ini haruslah mengacu pada UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Termasuk di dalamnya, perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan seksual; di antaranya Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.

Dalam kasus ini, diinformasikan bahwa anak-anak tidak didampingi oleh Ibu Korban atau setidak-tidaknya oleh orang yang dipercaya oleh Anak Korban.

Sementara itu, permintaan Ibu Korban dan kuasa hukum untuk rekam medik dari dokter anak yang merawat dan telah mengeluarkan diagnosa bahwa terjadi kerusakan pada jaringan anus dan vagina akibat kekerasan terhadap anak tidak dikabulkan.

Komnas Perempuan juga mencermati adanya bukti-bukti yang tidak dipertimbangkan. Dalam proses penyelidikan awal, dokter yang memeriksa dan merawat ketiga anak dengan dugaan luka fisik terkait tindak kekerasan seksual tidak dimintai keterangan sebagai Ahli.

Baca Juga: Ibu Korban Dugaan Kekerasan Seksual di Luwu Timur Dilaporkan Balik Oleh Mantan Suaminya

Demikian halnya assessment yang dilakukan P2TP2A Sulawesi Selatan di Makassar yang dalam laporan psikologisnya menyebutkan ketiga anak “tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas” ketiganya secara konsisten menceritakan dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka dan dua orang lainnya.

Tidak optimalnya pengumpulan barang-barang bukti dan alat bukti menyebabkan keputusan penghentian penyelidikan tersebut dipertanyakan oleh Ibu Korban dan Tim Kuasa Hukum.

Pada konteks ini sistem pembuktian yang diatur dalam hukum acara pidana (KUHAP) seperti halnya kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, menjadi hambatan utama korban untuk mendapatkan keadilan.

Pasal 184 KUHAP, menyatakan alat bukti yang sah ialah (i) keterangan saksi; (ii) keterangan ahli, (iii) surat, (iv) petunjuk dan (v) keterangan terdakwa. Selanjutnya Pasal 185 Ayat 7 dinyatakan bahwa: Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai antara satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan dari saksi yang tidak disumpah yaitu: (a) anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; (b) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 171 KUHAP).

Baca Juga: Dalami Kasus Pencabulan Anak di Luwu Timur, Polri Buat Laporan Model A, Apa Itu?

Dalam kasus ini keterangan anak korban I, II dan III karena usianya di bawah 15 tahun tidaklah disumpah. Sedangkan keterangan saksi dewasa yaitu Ibu Korban yang berdasarkan pemeriksaan psikiater saat diperiksa ditemukan gejala berupa waham yang merupakan bagian dari disabilitas mental, yang dengan sendirinya juga tidak dapat disumpah.

Di sisi lain, hasil Visum et Repertum (VeR) menjadi pertimbangan utama pembuktian tindak pidana, diikuti dengan Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP). Padahal, hasil dari VeR dan VeRP dapat tergantung pada waktu dan metode yang dilakukan.

Karenanya, VeR dan VeRP seharusnya dilakukan dalam tempo secepatnya. Bila terlambat beberapa hari, atau dimintakan pemeriksaan ulang, hasil VeR dan VeRP bisa berbeda atau tidak relevan karena sesuai dengan kondisi saat VeR dan VeRP dilakukan.

Pada VeR yang terlambat pelaksanaannya, luka fisik yang sebelumnya ada bisa jadi setelah beberapa hari sudah sembuh secara fisiologis atau karena sudah mendapatkan terapi. Jadi, hasil VeR bisa tidak sama bila dilakukan segera setelah kejadian.

Demikian juga halnya dengan VeRP yang terlalu lama dari saat kejadian. Hasilnya akan dipengaruhi oleh status kejiwaan seseorang yang awalnya sehat, kemudian menjadi terganggu atau sakit secara psikologis karena stresor dari keterlambatan penanganan kasusnya. Pada kasus Luwu Timur ini, penelusuran dokumen menunjukkan bahwa pelaksanaan VeR maupun VeRP tidak segera setelah peristiwa dilaporkan.

Dalam perkembangan kasus Luwu Timur, terutama pasca pemberitaan yang menjadi viral, ada kesan bahwa hasil VeRP terhadap Ibu korban justru digunakan untuk melemahkan kesaksian pada kasus tersebut.

Load More