Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Jum'at, 24 September 2021 | 15:48 WIB
Warga Desa Adat Amma Toa, Kajang, Bulukumba melakukan perekaman data e-KTP, Jumat 24 September 2021 [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

"Dan akhirnya saat ini sisa 70 orang dari wajib E-KTP di suku Amma Toa yang belum merekam. Salah satunya Amma (kepala suku) karena memang tidak bisa," ungkap Endang.

Warga Desa Adat Amma Toa, Kajang, Bulukumba antre melakukan perekaman data e-KTP, Jumat 24 September 2021 [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

Tidak Kenal Baca Tulis

Salah satu operator perekaman dari Kadisdukcapil mengaku ada sejumlah kendala untuk mengintegrasikan masyarakat Amma Toa pada sistem pendataan di e-KTP yang sudah baku. Sebab, sebagian besar masyarakat tidak mengenal baca-tulis.

Untuk mengisi kolom tanda tangan, misalnya, mereka sekadar menuliskan garis horizontal atau vertikal. Ada pula yang menggambar spiral.

Baca Juga: Soeharto Pesan 22 Kapal di Bulukumba Untuk Operasi Militer Papua

"Kita arahkan mereka tulis satu huruf di depan nama saja," bebernya.

Yang agak rumit adalah tanggal lahir. Ia menuturkan, orang Amma Toa tidak hafal tanggal lahir. Yang diingat hanya usia. Itu pun angka perkiraan saja.

Jadi secara acak dia bertanya kepada mereka yang hendak melakukan perekaman e-KTP. Pada saat ditanya umur, mereka terlihat berpikir agak lama.

Penentuan tanggal lahir warga Amma Toa telah dimulai pada tahun 2010, saat pendataan untuk buku induk kependudukan. Pihak Dukcapil dan perangkat desa lainnya menanyai identitas seluruh warga, termasuk tanggal lahir untuk menentukan nomor induk kependudukan (NIK).

Di dalam NIK itu tercatat tanggal, bulan, dan tahun lahir setelah kode provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Tapi, jangankan tanggal lahir, tahun lahir saja mereka tidak tahu. Jadi, dengan berbekal data usia, ditarik mundur untuk menentukan tahun lahir.

Baca Juga: Mantan Bupati Bulukumba Sukri Sappewali Mengaku Diberi Rp50 Juta oleh Agung Sucipto

"Tanggal lahirnya kita ambil dari database di desa," ungkapnya.

Senyumnya tetap berkembang saat melanjutkan ceritanya. Dia secara tidak langsung mengakui pendataan umur memang tidak sepenuhnya tepat.

Begitu pula soal nama. Sebenarnya sederhana bagi orang Amma Toa. Sebagaian besar nama mereka hanya satu kata dan mudah diucapkan.

Saat mereka sudah punya anak, biasanya seorang lelaki dipanggil dengan "Buto". Sedangkan perempuan disapa "Ombong".

Nah, karena sapaan itu, sudah menjadi sebutan secara umum. Terkadang mereka kebingungan untuk menentukan nama yang dicantumkan di e-KTP.

"Kami pernah ditegur Kemendagri karena dikira data anomali. Satu dusun punya nama bisa sama sampai tujuh orang seperti Ombong. Jika di Bugis-Makassar, artinya sama dengan Becce," ungkap Endang menambahkan.

Load More