Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Selasa, 27 April 2021 | 15:38 WIB
Pesantren An Nahdlah Makassar di kawasan padat penduduk Jalan Tinumbu Lorong IVa, Kota Makassar / [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Pondok pesantren An Nahdlah Makassar berdiri sejak tahun 1986. Pesantren ini terletak di kawasan padat penduduk di Jalan Tinumbu Lorong IVa, Kota Makassar.

Pesantren yang dipimpin Firdaus Muhammad ini terbilang unik. Lokasinya berada di lorong. Untuk menjangkaunya juga cukup sulit. Hanya bisa dilalui kendaraan roda dua atau berjalan kaki.

Karena berada di lorong, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa lokasi tersebut adalah pondok pesantren. Gedung pesantren yang dominan warna hijau itu juga tertutup rumah warga.

Warga sekitar mengenal lokasi di Pesantren dengan sebutan daerah "Texas" di Makassar. Karena angka kriminalitas di lokasi tersebut disebut cukup tinggi.

Baca Juga: 8 Ribu Tenaga Kontrak di Kota Makassar Akan Dites Ulang Kemampuannya

Warga mengaku sering ada perang kelompok. Di dekat pondok pesantren juga ada kampung yang sering dijuluki kampung narkoba, Sapiria.

Walau berada di lorong dan berada di kawasan rawan kriminal, Pesantren An Nahdlah sangat terkenal. Banyak santri dari luar kota yang mengenyam pendidikan dipesantren ini.

Pesantren An Nahdlah menjadi oasis. Tempat menyenangkan di tengah suasana yang serba kalut dan tidak menyenangkan di utara Kota Makassar.

Pondok pesantren ini sudah melahirkan ribuan da'i dan tokoh agama yang berkualitas. Salah satunya adalah ustadz kondang Nur Maulana.

Pesantren An Nahdlah Makassar di kawasan padat penduduk Jalan Tinumbu Lorong IVa, Kota Makassar / [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

Firdaus bercerita, pesantren ini awalnya didirikan oleh AGH Muh Harisah AS. Salah satu tokoh agama di Makassar.

Baca Juga: Nurhidayat Dipanggil Timnas Indonesia, Warganet Curiga Pemain Titipan

Harisah, kata Firdaus, ingin agar warga Tinumbu saat itu bisa belajar agama dengan baik. Walau awalnya, tak ada niat untuk membangun pesantren.

Dulu, Ustadz Harisah hanya mengajar mengaji dan membaca Alquran ke anaknya, Afifuddin. Namun, seiring berjalannya waktu, warga sekitar juga tertarik untuk mengikutkan anaknya belajar agama.

Antusiasme anak-anak untuk belajar agama pun membludak. Rumah Ustadz Harisah tak mampu untuk menampung mereka.

Lalu Ustadz Harisah memindahkan proses mengaji dan belajar membaca Alquran ke masjid Qubah Bontoala. Tak jauh dari rumahnya.

Seiring berjalannya waktu, Ustadz Harisah membuat pesantren secara bertahap. Saat ini ada tiga gedung milik An Nahdlah yang digunakan.

Namun, tidak seperti belajar pada umumnya, An Nahdlah lebih banyak mengajarkan soal kitab kuning, sebagai mata pelajaran pokok. Tradisinya lebih akrab dengan ajaran Nahdlatul Ulama.

Firdaus mengaku ada tantangan sosial tersendiri bagi para santri karena lokasi pesantren. Namun, mental dan psikologi mereka dididik sejak dini.

"Sehingga tidak membuat para santri terpengaruh dengan kehidupan sekitarnya. Dan para santri kita juga paham soal lingkungan sekitar," kata Firdaus.

Malahan para santri punya pengaruh besar ke warga sekitar. Sebagian warga yang dulunya tidak peduli, lambat laun mulai berubah lebih baik.

"Jadi kita didik mereka berperilaku santun. Siapa saja yang ditemui (warga) di sekitar sini mereka sapa, ucapkan salam," ujarnya.

Para santri juga dievaluasi dengan ketat. Mereka yang terindikasi terpengaruh hal buruk dari luar bisa dikeluarkan.

Kini, kata Firdaus, An Nahdlah juga sudah terverifikasi oleh Kementerian Agama. Ada sekitar 5000 santri yang sudah menjadi alumni.

"Ini suatu kebanggaan buat kita, bahwa kepercayaan masyarakat akan Nahdlah luar biasa," tandasnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More