Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Rabu, 14 Oktober 2020 | 17:59 WIB
Presiden AS, Donald Trump. [Mandel Ngan/AFP]

Pertama, pada Maret lalu, laki-laki itu mengalami radang tenggorokan, batuk, sakit kepala, pusing dan diare.

Dalam tes di sebuah acara komunitas di Reno pada 18 April, ia diketahui positif mengidap Covid-19.

Pada April, ia dinyatakan tidak menunjukan gejala apapun. Dua tes yang dilakukan pada Mei menunjukkan ia negatif Covid-19.

Namun, pada akhir Maret, ia kembali jatuh sakit. Kali ini jauh lebih buruk dibanding sebelumnya.

Baca Juga: Dinyatakan Positif COVID-19, Dosen UPN Veteran Yogyakarta Meninggal Dunia

Ia harus dirawat di rumah sakit dan membutuhkan alat bantu pernapasan. Inilah saat ketika kasus ini menarik perhatian Mark Pandori, Direktur Laboratorium Kesehatan Publik di Nevada, yang sekaligus ikut mengkaji studi baru ini.

“Kami waspada akan hal ini,” ujar Pandori.

Pada awal pandemi ini, ujarnya, ia dan mitra-mitranya memahami bahwa isu kemungkinan tertular kembali virus ini merupakan salah satu dari banyak pertanyaan besar yang menghantui para petugas kesehatan.

Ketika nama pasien kembali muncul dalam arsip sistem kesehatan publik untuk kedua kalinya, mereka kembali mengkaji hasil uji medis pertamanya dan membandingkan kode genetik kedua virus. Mereka melihat dua varian berbeda.

Kasus Keempat

Baca Juga: Sehari 40 Jenazah, Kini Pasien Covid yang Dikubur di Pondok Ranggon Sedikit

Kasus di Nevada itu merupakan kasus pertama yang mengonfirmasi seorang pasien tertular untuk kedua kalinya. Namun, kasus-kasus lain yang telah dikonfirmasi juga dilaporkan dari Hong Kong, Belgia, dan Ekuador, serta beberapa kasus dugaan lainnya.

Load More