Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Selasa, 13 Oktober 2020 | 08:09 WIB
Mahasiswi Universitas Nottingham Trent menggelar fashion show khusus busana penyandang disabilitas. (Dok. Nottingham Trent University)

SuaraSulsel.id - Jaringan Organisasi Difabel atau Penyandang Disabilitas mengemukakan sepuluh alasan menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR RI.

Hal Tersebut diungkapkan dalam jumpa pers yang dihadiri sejumlah aktivis difabel dan perwakilan beberapa media, Senin, 12 Oktober 2020.

Menurut Slamet Thohari, Ketua Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network, ini merupakan hasil refleksi dari jaringan organisasi difabel Indonesia. Usai membaca sejumlah draft RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat.

“Kami sudah membaca kurang lebih empat draf yang tersebar, tetapi menurut kami semua draf yang beredar itu isinya sama, telah mengabaikan hak difabel yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2016,” paparnya.

Baca Juga: Rekayasa Lalu Lintas Agar Tak Terjebak Macet Demo FPI Tolak UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja disahkan DPR di tengah penolakan besar dari masyarakat. Penyandang disabilitas, sebagai bagian dari masyarakat dan warga negara Indonesia, memiliki kedudukan yang setara untuk menyatakan sikap. Karena UU ini juga akan mengikat para penyandang disabilitas.

Dalam kehebohan masyarakat menolak UU Cipta Kerja, ada pula penolakan yang datang dari jaringan disabilitas yang mungkin masih jarang terdengar.

Kelompok atau organisasi penyandang disabilitas tidak pernah diperhitungkan dan dilibatkan sejak awal proses pembahasan. Padahal substansi RUU Cipta Kerja sangat relevan dan akan berdampak terhadap kehidupan para penyandang disabilitas.

Sebagaimana diungkapkan oleh Nurul Saadah, dari Sentra Advokasi Perempuan dan Anak (SAPDA Jogjakarta).

Wajar sekali jika jaringan disabilitas kemudian mengeluarkan kritik atas pengesahan UU Citpa Kerja tahun 2020.

Baca Juga: Buruh Curiga Jokowi Akan Intervensi Gugatan UU Cipta Kerja ke MK

UU ini banyak mengabaikan hak-hak para difabel. Undang-Undang Cipta Kerja tidak terharmonisasi dan sinkron dengan Undang-undang No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.

Selain itu, UU Cipta Kerja telah melakukan “kejahatan epistemik” dengan masih mengusung istilah cacat bagi penyandang disabilitas.

Paradigma cacat tersebut sangat bertentangan dengan gerakan disabilitas yang selama ini mengusung terciptanya cara pandang terhadap penyandang disabilitas model sosial dan hak asasi manusia.

Melihat disabilitas sebagai akibat dari operasi masyarakat dan tidak dipenuhinya hak-hak penyandang disabilitas.
Penyebutan istilah “cacat” sebagaimana tercantum dalam revisi Pasal 46 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; revisi Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; penambahan Pasal 153 serta 154a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan penjelasan dari revisi Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, merupakan bentuk pengabaian dari ketentuan dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 yang menyatakan bahwa, “istilah penyandang cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU ini berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai penyandang disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini”.

Selain itu, penggunaan istilah “cacat” juga bertentangan dengan semangat yang dibangun dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Right of Person with Disabilities) yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.

Bukan hanya menggunakan istilah cacat, bahkan UU Cipta Kerja juga menambahkan satu syarat yang dapat menjadi alasan bagi pemberi kerja untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, yaitu tercantum dalam revisi Pasal 154A huruf l UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa “Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan : l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan”.

Pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut adalah diskriminatif, dapat merugikan penyandang disabilitas, dan jauh dari semangat mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif.

Karena seseorang yang menjadi penyandang disabilitas dalam dunia pekerjaan seharusnya masuk dalam skema program kembali bekerja, seperti dialihkan ke pekerjaan lain atau penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk mendukungnya tetap dapat bekerja tanpa hambatan.

Nurul menambahkan, sebetulnya ada anggota DPR yang dulu juga membahas Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016.

Tapi kemudian sangat disayangkan sekali, karena saat anggota dewan tersebut membahas UU Cipta Kerja ini, tidak memasukkan pasal-pasal yang sangat penting di UU nomor 8 tahun 2016 dan masih menggunakan istilah cacat juga.

“Jadi menurut saya, ini bukan hanya pengabaian, tapi ini juga penghianatan dari wakil rakyat kita," katanya.

Jaringan penyandang disabilitas mendesak Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Pembatalan UU Cipta Kerja 2020 dalam waktu 14 hari dihitung dari tanggal 12 Oktober hari ini.

Meminta pertanggungjawaban kepada sembilan fraksi di DPR dalam bentuk penjelasan tertulis kepada publik mengenai pengabaian kelompok penyandang disabilitas dalam pembahasan dan tidak dicantumkannya UU No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas sebagai Undang-Undang yang terkena dampak.

Harapannya juga pemerintah memproduksi materi/ Undang-Undang yang aksesibel untuk ditelaah oleh penyandang disabilitas. Mengajukan uji materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi. Mengentikan tindakan kekerasan baik dari demonstran maupun aparat, karena itu dapat menyebabkan seseorang menjadi penyandang disabilitas.

Penulis: Nabila May Sweetha

Load More