Awal Mula Kasus Dugaan Penipuan yang Menjerat Irman Yasin Limpo dan Andi Pahlevi

Transaksi jual beli Sekolah Islam Al-Azhar di Kota Makassar yang terjadi hampir delapan tahun lalu

Muhammad Yunus
Minggu, 21 Desember 2025 | 10:16 WIB
Awal Mula Kasus Dugaan Penipuan yang Menjerat Irman Yasin Limpo dan Andi Pahlevi
Irman Yasin Limpo
Baca 10 detik
  • Irman Yasin Limpo dan Andi Pahlevi ditetapkan tersangka oleh Polda Sulsel atas dugaan penipuan jual beli Sekolah Al-Azhar Makassar 2017.
  • Kasus ini bermula dari pinjaman Rp50 miliar dari Bahar Ngitung untuk pembelian yang belum dilunasi setelah transaksi gagal.
  • Keduanya mengajukan praperadilan pada Desember 2025 untuk menguji penetapan tersangka berdasarkan Pasal 378 dan Pasal 266 KUHP.

Ketiadaan itikad baik untuk melunasi utang inilah yang menjadi salah satu dasar laporan ke Polda Sulsel sejak 2024.

Bahar juga mengaku namanya sempat dicantumkan sebagai dewan pengawas yayasan pengelola sekolah, tetapi belakangan dihapus tanpa sepengetahuannya.

"Awalnya nama saya masuk di yayasan, tapi belakangan sudah dihapus," katanya.

Penghapusan tersebut diduga menjadi pintu masuk sangkaan Pasal 266 KUHP, yakni terkait keterangan dalam akta yayasan yang dinilai tidak sesuai fakta.

Baca Juga:Awas! Ini 4 Langkah Lindungi Diri dari Penipuan Mengatasnamakan Wagub Sulbar

Bahar mengaku semakin kecewa karena berharap dananya kembali setelah aset sekolah diagunkan ke bank, namun hingga kini pembayaran tak pernah diterima.

"Sempat digadai ke bank. Saya kira akan dibayar, ternyata tidak," ucapnya.

Irman Yasin Limpo dan Andi Pahlevi pun memilih melawan.

Pada 10 Desember 2025, mereka mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Makassar dengan nomor perkara 48/Pid.Pra/2025/PN Mks. Gugatan ini diajukan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka oleh penyidik.

Kuasa hukum kedua tersangka, Muhammad Nursalam menilai pasal-pasal yang dikenakan tidak mencerminkan perbuatan kliennya.

Baca Juga:Mengapa Penipuan Online di Sulawesi Tenggara Meledak dalam 4 Tahun Terakhir?

Ia menyebut unsur penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP tidak terpenuhi.

"Penipuan harus ada rangkaian kata-kata bohong yang menggerakkan orang untuk menyerahkan sesuatu. Itu yang kami nilai tidak ada," kata Nursalam.

Sementara Pasal 266 KUHP, menurutnya, berkaitan dengan dugaan pemalsuan dokumen yayasan. Ia berpendapat perkara tersebut seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana.

Yayasan, kata dia, merupakan organisasi sosial yang tidak mengenal kerugian finansial sebagaimana badan usaha.

"Pasal 266 mensyaratkan adanya kerugian nyata. Dalam konteks yayasan, itu tidak relevan," ujarnya. Meski demikian, penyidik memiliki pandangan berbeda.

Nursalam menyebut persidangan telah dua kali ditunda dan akan dilanjutkan dengan agenda jawaban serta pembuktian dari kedua belah pihak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini