- Mahfud MD menyatakan KPRPI menerima berbagai aduan publik, namun tidak berwenang menyelesaikan kasus individual kepolisian
- Tugas utama KPRPI di Makassar adalah menyiapkan kerangka kebijakan reformasi menyeluruh untuk memperbaiki urgensi institusi Polri
- Akar masalah Polri meliputi intervensi politik berlebihan dan isu kepemimpinan, berdampak pada lemahnya penegakan hukum
SuaraSulsel.id - Anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Indonesia (KPRPI), Mahfud MD mengungkapkan lembaga yang dipimpinnya menerima beragam aduan dari masyarakat.
Termasuk laporan soal dugaan perselingkuhan yang melibatkan anggota kepolisian.
Namun, Mahfud menegaskan KPRPI tidak memiliki kewenangan untuk menilai, apalagi menyelesaikan kasus-kasus individual tersebut.
"Kami ini bukan lembaga penegak hukum dan bukan pula lembaga penyelesaian perkara. Kami tidak punya kewenangan untuk menilai tindakan hukum atau menyelesaikan kasus," kata Mahfud di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Selasa, 16 Desember 2025.
Baca Juga:Rekrutmen 'Busuk' Polri dari Hulu ke Hilir Bikin Masyarakat Hilang Kepercayaan
Menurut Mahfud, tugas utama KPRPI adalah menyiapkan kerangka kebijakan baru sebagai dasar reformasi Polri secara menyeluruh.
Karena itu, berbagai laporan individual yang masuk kerap disalahpahami sebagai bagian dari tugas komisi.
"Kalau ada kasus pembunuhan, korupsi, penganiayaan, itu bukan tugas KPRPI. Banyak orang keliru mengira Komisi Reformasi ini menyelesaikan kasus," ujarnya.
Mahfud bahkan menceritakan secara terbuka sejumlah aduan yang masuk ke meja KPRPI.
Salah satunya surat dari seorang ibu rumah tangga yang mengadukan suaminya, seorang polisi, diduga berselingkuh dengan anggota polisi wanita (Polwan).
Baca Juga:Mengapa Warga Lebih Percaya Damkar daripada Polisi? Yusril Ihza Angkat Bicara Soal Fenomena Ini
"Ada ibu-ibu yang kirim surat karena suaminya berselingkuh dengan Polwan. Masa itu urusan reformasi?," kata Mahfud.
Tak hanya itu, KPRPI juga menerima laporan soal dugaan perselingkuhan yang melibatkan istri anggota polisi dengan aparatur sipil negara (ASN) di sebuah hotel.
Menurut Mahfud, kasus-kasus semacam ini jelas berada di luar mandat KPRPI.
"Kalau polisi istrinya kepergok dengan ASN di hotel, itu juga bukan tugas kami," tegasnya.
Mahfud menjelaskan, dalam diskusi di Makassar muncul banyak istilah teknokratis seperti re-engineering, transformasi, hingga akselerasi.
Namun, reformasi Polri selama ini memang selalu dikaitkan dengan upaya percepatan, mengingat urgensi persoalan yang dihadapi institusi kepolisian.
Ia menilai, secara struktural dan regulatif, Polri sebenarnya telah memiliki perangkat yang cukup baik. Namun, persoalan tetap muncul di lapangan.
Karena itu, KPRPI saat ini tengah melakukan semacam "cek kesehatan" terhadap institusi Polri.
"Seperti orang sakit, kita pegang dan periksa. Bagian mana yang bermasalah?" ujarnya.
Dari proses tersebut, Mahfud menyebut sejumlah "penyakit" yang terlihat jelas. Mulai dari praktik pemerasan, kriminalisasi, gaya hidup hedonis, flexing, hingga dugaan kolaborasi dengan kejahatan.
Dampaknya, menurut Mahfud, masyarakat justru tidak terlindungi secara optimal oleh aparat penegak hukum.
"Kondisi itu membuat masyarakat merasa tidak terlindungi," katanya.
Mahfud mengungkapkan, KPRPI menemukan dua faktor utama yang menjadi akar persoalan. Pertama, masuknya unsur politik terlalu jauh ke dalam tubuh Polri. Kedua, persoalan kepemimpinan.
"Polisi itu institusi yang sangat terkomando. Kalau pimpinan di atasnya baik, ke bawah akan baik. Kalau pimpinan tidak terkontaminasi politik, ke bawah pun akan bersih. Itu kuncinya, politik dan leadership," jelas Mahfud.
Ia menegaskan, persoalan-persoalan lain akan diperbaiki secara bertahap setelah dua faktor utama tersebut dibenahi.
Mahfud juga mengapresiasi berbagai masukan yang muncul dalam forum di Makassar, yang dinilainya substantif dan relevan untuk agenda reformasi.
"Saya dapat banyak istilah dan masukan menarik dari Makassar. Bagus-bagus. Semua itu nanti akan kami olah sebagai bahan perbaikan Polri ke depan," ujarnya.
Mahfud kembali menegaskan filosofi dasar reformasi yang tengah didorong KPRPI.
Menurutnya, Polri adalah milik seluruh rakyat Indonesia dan harus kembali dekat dengan masyarakat.
"Polri itu milik kita semua. Polri harus dekat dengan rakyat, melindungi, mengayomi, melayani, dan menegakkan hukum," kata Mahfud.
Namun, ia mengakui bahwa masalah paling serius saat ini justru berada pada aspek penegakan hukum.
Sementara fungsi pelayanan, perlindungan, dan pengayoman dinilai masyarakat masih relatif cukup baik.
"Yang paling bermasalah sekarang itu penegakan hukumnya. Masih compang-camping, terutama ketika bersinggungan dengan dunia bisnis dan kepentingan tertentu," pungkas Mahfud.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing