SuaraSulsel.id - Sebanyak 571.393 penerima bantuan sosial (bansos) di Indonesia tercatat melakukan transaksi judi online (judol). Total nilai transaksinya mencapai Rp957 miliar.
Data tersebut diungkapkan Asisten Deputi Koordinasi Pelindungan Data dan Transaksi Elektronik Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) RI, Syaiful Garyadi.
Dalam acara sinkronisasi implementasi kebijakan percepatan transformasi digital dan satu data Indonesia di Provinsi Sulawesi Selatan, Kamis, 7 Agustus 2025.
"Penerima bansos ini ternyata pemain judol. Ini ada kaitannya dengan pemblokiran rekening dormant. Kami sangat paham kebijakan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," tegas Syaiful.
Baca Juga:Cara Mencairkan Bansos Rp600 Ribu di Tahun 2025
Ia menjelaskan, ada 28,4 juta Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima bansos. Sementara, 9,7 juta NIK teridentifikasi bermain judi online.
Dari jumlah itu, 571.393 NIK tercatat penerima bansos yang bertransaksi judi online.
Syaiful menyebut, rekening bank yang digunakan oleh para pelaku tersebar di beberapa bank besar.
Di antaranya, Bank BRI sebanyak 209.532 rekening, BNI 193.943 rekening, Mandiri 128.722 rekening, BSI 20.241 rekening, dan BTN 18.905 rekening.
Seluruh rekening ini dibuka secara kolektif oleh 3,6 juta NIK penerima bansos.
Baca Juga:Lokasi Judi Sabung Ayam di Kabupaten Gowa Dibakar
"Nilai transaksi dari rekening bansos untuk judol ini tidak main-main. Nilai transaksinya hampir Rp1 triliun. Jadi ini permainan yang signifikan dan sangat meresahkan," sebutnya.
Wilayah dengan jumlah pelaku terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat (27.433 orang), disusul Jawa Tengah (9.191), Banten (7.261), Sumatera Selatan (7.169), dan Jawa Timur (5.753).
Sementara itu, kabupaten/kota dengan angka tertinggi yakni Karawang (7.920 orang), Palembang (2.620), dan Serang (2.028).
Untuk Sulawesi Selatan, kata dia, tidak termasuk dalam daftar wilayah dengan jumlah penerima bansos terbanyak yang terindikasi bermain judi online.
"Kita cek, Sulawesi Selatan aman ya," tambahnya.
Ia menilai maraknya transaksi judi online di kalangan penerima bansos sangat meresahkan dan menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar pemain. Melainkan diduga terlibat dalam jaringan bandar.
Modus ini memanfaatkan rekening dormant, yakni rekening yang tidak aktif selama 3 bulan sampai 1 tahun.
"Jadi kenapa PPATK kemarin memblokir rekening dormant? karena teridentifikasi banyak digunakan untuk kejahatan seperti judi online. Ini bukan menyita uangnya, tapi mendorong pemilik rekening untuk melakukan pelaporan ulang," terangnya.
Kata Syamsul, pihaknya juga menemukan ada oknum perbankan yang menjual rekening dormant untuk kejahatan dan pencucian uang. Rata-rata yang disalahgunakan adalah rekening pasif dengan jumlah tabungan kecil.
"Jadi kalau yang rekening kecil itu tidak terdetect, banyak oknum perbankan yang jual belikan untuk judi online," sebutnya.
Sebelumnya, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, pihaknya mengestimasikan nilai transaksi dari kegiatan judi online pada akhir 2024 berpotensi menyentuh angka Rp999 triliun dan bahkan bisa menembus Rp1,1 triliun jika tidak ada intervensi kuat dari pemerintah dan aparat hukum.
"Indonesia menjadi sasaran empuk provider judol. Bahkan, sudah ada kasus mahasiswa yang bunuh diri karena terlilit utang judi dan seorang bapak yang menjual bayi karena kecanduan," ujar Ivan.
PPATK pun menyoroti kemudahan akses terhadap platform judi online yang kini bisa dilakukan hanya dengan telepon genggam.
Kata Ivan, mereka juga menemukan fenomena jual beli rekening bank yang menjadi salah satu penyumbang masifnya kejahatan finansial.
Rekening tersebut lalu digunakan untuk keperluan transaksi ilegal seperti penampungan dana judi, penipuan daring, hingga pencucian uang atau money laundering lintas negara.
PPATK memastikan bahwa seluruh rekening pasif yang telah dipetakan telah dikembalikan ke sistem perbankan masing-masing dan kini tengah melalui proses pembaruan data nasabah (Customer Due Diligence/CDD) dan verifikasi lanjutan (Enhanced Due Diligence/EDD).
Kontributor : Lorensia Clara Tambing