SuaraSulsel.id - Polda Sulawesi Selatan menetapkan empat tersangka kasus dugaan penggelapan dan pengadaan di kampus Universitas Muslim Indonesia atau UMI.
Mereka adalah Rektor UMI, Sufirman Rahman, mantan Rektor Basri Modding, pihak ketiga Ibnu Widiyanto, yang juga merupakan putra sulung Basri, dan mantan wakil Rektor 1, Hanafi.
Dari hasil audit yang dilakukan pihak Yayasan Wakaf UMI ada kerugian yang dialami UMI dari pengerjaan sejumlah proyek di kampus tersebut. Proyek itu dikerjakan oleh Ibnu, anak dari mantan Rektor Basri Modding.
Seperti diantaranya kasus proyek Taman Firdaus, pembayaran Gedung International School dan Access Point.
Baca Juga:Rektor, Mantan Rektor UMI, dan Anak Jadi Tersangka Dugaan Korupsi, Sufirman Rahman: Itu Fitnah
Pada proyek Taman Firdaus, diduga terdapat kelebihan bayar sebesar Rp6,5 miliar.
Pengerjaan taman di halaman kampus itu hanya menelan anggaran Rp4,9 miliar, akan tetapi dibayarkan Rp11 miliar.
Lalu kemudian gedung International School STP Yayasan Wakaf UMI yang dibayarkan Rp10 miliar. Namun, ternyata pengerjaannya hanya sebesar Rp6,5 miliar.
"Ada kelebihan bayar Rp3,6 miliar. Pengadaan 150 access point yang dipandang ada kelebihan bayar 780 juta juga. Ketiga proyek tersebut dikerjakan oleh Ibnu Widiyanto Basri, anak kandung dari Prof Basri Modding," kata Sufirman kepada media, Rabu, 25 September 2024.
Belum lagi untuk kegiatan kepanitiaan serta aliran dana Yayasan Wakaf UMI pada lomba gambar.
Baca Juga:Gelapkan Dana Nasabah, Pegawai Bank di Kabupaten Enrekang Ditahan
"Dari tiga item, temuan audit pengawas total kerugian Rp11 miliar yang dijadikan dasar untuk mengajukan laporan polisi terdahulu maupun perdata," ucapnya.
Kasus ini dilaporkan ke Polda Sulsel pada bulan Oktober 2024 oleh Sufirman. Lalu, pada bulan Februari 2024, Dirkrimum Polda Sulsel menemukan ada penyalahgunaan anggaran dari kasus tersebut.
Pihak UMI juga melaporkan soal dugaan adanya mark up videotron di gedung Pasca Sarjana. Namun, setelah diperiksa, ternyata sudah sesuai mekanisme dan prosedur yang berlaku dalam lingkup yayasan wakaf UMI.
Pihak kampus kemudian mencabut laporan tersebut di Polda Sulsel karena tidak ditemukan adanya kerugian.
"Jadi khusus videotron itu berdasarkan klarifikasi dari pengawas Yayasan Wakaf UMI, saya garis bawahi disebutkan tidak ada kerugian. Dengan demikian, kasus pengadaan videotron dinyatakan tidak terjadi penyimpangan dan kerugian materi," ungkapnya.
Namun sialnya, Sufirman yang melaporkan kasus tersebut malah dijadikan tersangka. Padahal ia mengaku, saat pengerjaan proyek dilakukan, tugasnya hanya mengurusi administrasi.
Sufirman merupakan mantan Asisten Direktur Yayasan yang mengurusi keuangan dan adminstrasi yayasan.
"Saya memproses penawaran sampai pimpinan Universitas. Peran saya sampai di situ. Setelah sampai di pimpinan Universitas, pimpinan bentuk tim evaluasi. Saya tidak terlibat menilai. Harusnya saya masuk tim evaluasi, tapi saya tidak dilibatkan," ucapnya.
"Harganya berapa saya tidak terlibat menilai kelayakan rekanan. Ndak ada 1 rupiah pun ke saya," katan.
Sufirman mengaku belum tahu upaya hukum apa yang akan dilakukan. Sebab, ia juga belum menerima surat hasil penyidikan dari Polda Sulsel.
"Saya dikaitkan dengan pasal 55 yaitu penyertaan dan pembantuan. Peran saya hanya menandatangani administrasi karena staf saya siapkan berkasnya. Jadi kalau saya dilibatkan, saya tidak tahu terlibat apa. Tapi ya saya hargai," ucapnya.
Sementara, Ketua Yayasan Wakaf UMI Profesor Masrurah Mokhtar mengatakan Sufirman masih akan menjabat sebagai Rektor UMI hingga ada putusan hukum yang tetap.
Pihaknya juga belum menerima sprindik hasil pemeriksaan oleh Polda Sulsel.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing