SuaraSulsel.id - Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp156 miliar di lingkungan Pemprov Sulsel. Kerugian itu bersumber dari kelebihan pembayaran tunjangan pegawai yang tidak sesuai dengan Keputusan Gubernur.
Hal itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) keuangan Pemprov Sulsel tahun anggaran 2023. BPK menyatakan ada temuan kelebihan pembayaran tambahan penghasilan pegawai yang tidak sesuai aturan.
Salah satu pegawai yang enggan disebut namanya mengaku tambahan penghasilan pegawai pada tahun 2023 memang mengalami kenaikan. Nilainya tergantung beban kerja dan kedisiplinan.
"Kalau saya kenaikannya sekitar Rp500 ribu per bulan. Itu naik karena tahun sebelumnya TPP itu stagnan satu bulan gaji," ujarnya, Kamis, 30 Mei 2024.
Baca Juga:BPK Temukan Kelebihan Bayar Tunjangan Pegawai Pemprov Sulsel Rp156 Miliar
Ia mengaku semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) saat ini diminta melakukan refocusing anggaran untuk membayar hasil temuan tersebut.
"Mau dikembalikan juga bagaimana mungkin, sudah digunakan dari tahun lalu," sebutnya.
Sementara, Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan Zudan Arif Fakhrulloh mengaku akan menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin. Ia sudah meminta Sekretaris Daerah dan Kepala Inspektorat mengkaji hasil temuan BPK tersebut.
"Saya sudah minta Sekda dan Kepala Inspektorat agar hari Kamis dan Jumat ini segera ditindaklanjuti soal realisasi TPP yang sebenarnya bermasalah," kata Zudan.
Kata Zudan, Pemprov akan melakukan pengembalian, namun sesuai aturan yang berlaku.
Baca Juga:BPK Temukan Penyalahgunaan Rp1,7 Miliar dan Lebih Bayar Rp156 Miliar Pemprov Sulsel
"Tapi saya belum baca hasil pemeriksaannya karena tebal sekali. Insya Allah segera mungkin kami selesaikan," jelasnya.
Sebelumnya, Auditor Utama BPK RI, Laode Nusriadi mengatakan BPK menemukan kelebihan pembayaran untuk tunjangan pegawai di Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Nilainya mencapai Rp156 miliar.
"BPK menemukan beberapa permasalahan diantaranya kelebihan pembayaran tambahan perbaikan penghasilan (TPP) sebesar Rp156 miliar," bebernya.
Laode menjelaskan realisasi TPP Pemprov Sulsel pada tahun 2023 sebesar Rp1,4 triliun yang dibayarkan sesuai Keputusan Gubernur tentang penetapan basic tambahan penghasilan pegawai. Nilainya disesuaikan berdasarkan beban kerja, prestasi dan kondisi kerja.
"Namun, penetapan TPP tidak sepenuhnya berpedoman kepada Keputusan Gubernur sehingga terdapat kelebihan perhitungan TPP sebesar Rp156 miliar," jelasnya.
Secara umum, BPK menyematkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemprov Sulsel tahun 2023.
Namun, BPK mengingatkan agar Pemprov bisa menindaklanjuti temuan tersebut maksimal 60 hari setelah laporan diterima.
Hal ini sesuai Pasal 20 UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
BPK juga memberi masukan agar Pemprov Sulsel bisa memasang target pendapatan yang rasional. Ini untuk memastikan penyusunan rancangan anggaran di tahun sebelumnya bisa akurat dan sesuai dengan kebutuhan.
Kata Laode, Pemprov Sulsel bisa menjadikan daerah lain sebagai pembelajaran. Dimana belanja daerah tidak sebanding dengan pendapatan sehingga menimbulkan utang yang semakin meningkat.
Pengisian Jabatan Tak Sesuai Prosedur
Pengamat Tata Kelola Keuangan Negara Bastian Lubis menilai penyebab potensi kerugian negara tersebut disebabkan oleh pengisian jabatan di Pemprov Sulsel yang inprosedural.
Misal, kata Bastian, posisi Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seharusnya diisi oleh pejabat eselon yang setara, malah diisi eselon III.
Hal tersebut menurutnya turut mempengaruhi pembayaran tunjangan. Bahkan terkini jadi temuan BPK.
"Plt kepala OPD itu kan wajib diganti dengan pejabat eselon yang setara. Tapi saat ini di Pemprov banyak dari eselon III yang ditunjuk jadi Plt Kepala OPD yang lowong," ujarnya.
Ia menyoroti praktik penempatan pejabat eselon III dalam posisi Plt kepala OPD, yang menurutnya tidak sesuai dengan aturan dan dapat berdampak negatif pada tata kelola pemerintahan dan penggunaan anggaran.
Bastian menegaskan pejabat eselon III tidak memiliki kuasa sebagai pengguna anggaran. Sehingga pelaksana kepala OPD seharusnya dipegang oleh pejabat eselon II.
"Makanya, penempatan yang seperti ini lebih berisiko terhadap potensi kerugian negara, terutama dalam hal tata kelola anggaran dan efektivitas pemerintahan," jelasnya.
Oleh karena itu, Bastian menekankan pentingnya evaluasi dan pengawasan yang lebih ketat dalam proses penunjukan pejabat. Ini untuk memastikan integritas dan profesionalisme di pemerintahan sebagai pengguna anggaran untuk pelayanan publik.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing