Menelusuri Jejak Rel Kereta Api Belanda di Kota Makassar, Beroperasi Tahun 1923-1930

Jalur kereta api memanjang dari Makassar sampai Takalar, Sulawesi Selatan

Muhammad Yunus
Senin, 25 Juli 2022 | 13:24 WIB
Menelusuri Jejak Rel Kereta Api Belanda di Kota Makassar, Beroperasi Tahun 1923-1930
Nurhayati menunjukan lokasi rel kereta api di zaman Hindia Belanda yang kini menjadi jalan setapak dan halaman rumah warga [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Nurhayati (56 tahun) masih ingat betul suasana di belakang rumahnya dulu. Saat masih ada rel kereta api zaman kolonial Belanda. Panjangnya kira-kira lima meter.

Nurhayati adalah warga Jongaya, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Ternyata rumahnya adalah bekas stasiun kereta api pada masa kolonial. Rumah bekas stasiun kereta api tersebut masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Tidak sulit untuk menemukan rumah Nurhayati. Cukup menuliskan kata "Stasiun Jongaya" di google maps.

Peta digital akan mengarahkan ke lokasi yang tepat. Tempat bekas stasiun kereta api peninggalan Belanda itu. Letaknya cukup strategis karena diapit oleh dua jalanan utama.

Baca Juga:ITB Ditunjuk Pimpin Riset Pengembangan Kereta Api Ringan Hybrid dan Cerdas

"Iya, saya ingat. Kalau pulang sekolah dulu kan lewati rel itu, kurang lebih 5 meter panjangnya. Tidak tahu siapa yang ambil besinya padahal berat saya lihat," ujarnya saat ditemui Jumat, 22 Juli 2022.

Stasiun kereta api di zaman Hindia Belanda di Jongaya, Kota Makassar, kini jadi rumah tempat tinggal warga [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]
Stasiun kereta api di zaman Hindia Belanda di Jongaya, Kota Makassar, kini jadi rumah tempat tinggal warga [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]

Wanita berusia 56 tahun itu dengan senang hati menunjukkan beberapa bekas sarana perkeretaapian peninggalan Belanda. Kayu jendela dan pintu bekas stasiun masih utuh. Walau hampir berusia 100 tahun.

"Letak relnya dulu ini tapi sudah jadi jalanan dan pekarangan warga. Kusen jendela depan dan pintunya kami tidak pernah ubah. Masih asli," ungkapnya sembari menunjuk salah satu lokasi, tepat di belakang rumahnya.

Dari cerita orang tuanya, kereta itu dulunya dipakai mengangkut barang-barang dari pelabuhan Makassar ke Takalar di zaman Belanda. Namun tak berlangsung lama karena Belanda rugi.

Setelah tak difungsikan sebagai stasiun, dialihkanlah jadi kantor polisi.

Baca Juga:Hari Anak Nasional, KAI Ajak Siswa Berkenalan dengan Transportasi Kereta Api

Kebetulan, ayahnya adalah mantan Kepala Polisi Sektor Tamalate. Sementara, mereka tinggal menumpang di asrama.

"Polisi dulu tidak punya rumah tetap. Pindah sana-sini," ungkapnya.

Setelah kantor Polsek dipindahkan, ayahnya bermohon ke Polda Sulsel agar rumah itu bisa dihibahkan secara pribadi. Nurhayati tidak ingat betul, tahun kapan permohonan itu disetujui.

"Dan ternyata disetujui saat itu saya lupa waktunya. Kami lalu pindah ke sini dan sekarang sudah menetap sejak tahun 60-an atau 70-an," ungkap ibu dari empat anak tersebut.

Ia berujar pernah ada yang menawar rumahnya. Nilainya fantastis sampai Rp2 miliar. Namun, ia menolak.

Ia mengatakan masih pikir-pikir. Sebab rumah itu punya nilai sejarah. Kalaupun mau dijual, setidaknya lebih dari Rp2 miliar.

"Saya mungkin sepakat kalau Rp3,5 miliar," ujarnya sambil berkelakar.

Stasiun Jongaya dan stasiun Takalar adalah dua bangunan bekas kereta api di Sulawesi Selatan yang masih tersisa. Dua stasiun ini menjadi jejak sejarah adanya peradaban transportasi massal di daerah ini.

Kereta api bukan lah barang baru di pulau Sulawesi. Jauh sebelum Indonesia merdeka, moda transportasi ini ternyata sudah beroperasi di Sulawesi Selatan.

Studi kelayakan pembangunan kereta api di pulau Sulawesi sudah dimulai sejak tahun 1915 oleh pihak swasta. Namun karena dianggap tidak akan membawa keuntungan bagi investor, pemerintah Hindia Belanda pun mengambil alih.

Proyek diawali dengan membangun trem uap di sekitar pelabuhan Kota Makassar. Lokomotif yang dipakai diangkut secara khusus dengan kapal KPM dari Jawa.

Pada 1 Juli 1922, rel antara Makassar (Stasiun Pasar Butung)- Takalar akhirnya selesai dibangun oleh perusahaan milik pemerintah Hindia Belanda, Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij. Panjangnya 47 km. Lebih panjang dari jalur kereta api pertama di pulau Jawa yang hanya 25 km.

Selain Makassar-Takalar, pemerintah Hindia Belanda juga sempat berencana membangun kereta api jalur Makassar-Maros-Tanete-Parepare-Sengkang. Namun, tak pernah terwujud pembangunannya.

Pada masa Hindia Belanda, jalur kereta Makassar-Takalar memiliki 8 halte (sekarang dikenal sebagai stasiun) dan 12 stoplass atau saat ini disebut halte.

Sayangnya, masa operasionalnya hanya bertahan sekitar tujuh tahun. Dalam arsip milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1936-1973, tercatat kereta mulai dioperasikan sejak 1 Juli 1923 sampai 1 Agustus 1930.

Tahun 1930, layanan kereta terpaksa ditutup karena subsidi dari Staatsspoor en Tramwegen di Jawa untuk Staatstramwegen op Celebes sebagai pengelola dihentikan. Krisis ekonomi dunia pada tahun 1929 jadi penyebabnya.

Selain itu, kereta api di Sulawesi dinilai tidak menguntungkan. Karena bisnis industri di daerah ini lesu. Tidak seramai di pulau Jawa.

Stasiun kereta api di zaman Hindia Belanda di Jongaya, Kota Makassar, kini jadi rumah tempat tinggal warga [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]
Stasiun kereta api di zaman Hindia Belanda di Jongaya, Kota Makassar, kini jadi rumah tempat tinggal warga [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]

Fadli Nasrul, mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar pernah melakukan penelitian soal kereta api di zaman Belanda tersebut pada tahun 2018.

Dalam jurnal yang disusunnya, dijelaskan bahwa jalur kereta api Makassar-Takalar waktu itu untuk mengangkut hasil bumi. Selain itu digunakan untuk kepentingan politik dan militer.

Hal itu dapat dilihat dari keberadaan jalur dan transportasi kereta api yang mengangkut serdadu Belanda guna meredam gerakan I Tolok Daeng Magassing. Padahal, rute awal rencananya yang akan dibangun adalah dari Makassar menuju Maros.

"Namun terjadi perubahan rute menjadi Makassar menuju Takalar disebabkan keadaan ekonomi dan politik saat itu. Selain mengangkut tebu dan teh, jalur kereta api digunakan untuk mengangkut serdadu Belanda dalam mempertahankan wilayah Hindia-Belanda pada pemberontakan Tolok Daeng Magassing," ujar Fadli.

Butuh Waktu 13 Tahun

Jalan panjang proses pembangunan kembali kereta api di Sulawesi Selatan tidak mudah. Butuh waktu kurang lebih 13 tahun untuk bisa merealisasikan pembangunannya.

Salah satu kendalanya karena proses pembebasan lahan yang sulit. Butuh waktu bertahun-tahun untuk meyakinkan warga menjual lahan.

Wacana mewujudkan jalur kereta api di Sulawesi sudah muncul sejak tahun 2001. Tujuannya untuk menghubungkan antar kota di pulau Sulawesi.

Pada 2002 dan 2003 pemerintah lalu memulai studi kelayakan untuk lintas Manado-Bitung dan Makassar-Parepare. Dua tahun kemudian kajian studi diperluas menjadi Makassar-Takalar-Bulukumba.

Pada 1 Juni dan 28 Desember 2012, Kementerian Perhubungan dan Pemprov Sulawesi Selatan kemudian menandatangani Nota Kesepahaman tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian Nasional di Pulau Sulawesi.

Rencana pembangunan pun semakin dimatangkan dengan keluarnya hasil studi terkait Detail Engineering Design (DED) pembangunan jembatan kereta api dari Makassar hingga Parepare. Disusul hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada rute yang sama pada 2014.

Pemancangan tiang pertama untuk jalur Makassar-Parepare kemudian dilakukan pada 12 Agustus 2014 lalu. Lokasinya di Desa Siawung, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru.

Sementara, pembangunan konstruksi baru dimulai pada pertengahan 2015. Pembangunan diawali dengan pemasangan rel pertama pada 13 November di Desa Lalabata, Kecamatan Tanete Rilau.

Di Makassar, jalur kereta terhubung dengan Pelabuhan Makassar New Port. Sedangkan di Kabupaten Barru terkoneksi dengan Pelabuhan Garongkong.

Awalnya, kereta api di Sulawesi Selatan memang direncanakan akan dibangun dari Makassar ke Parepare. Namun, jalur ke Parepare disebut cukup sulit.

Harus membutuhkan anggaran lebih karena melewati bukit dan laut. Jalur kereta harus dibuat melayang atau elevated.

Rel kereta api di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id/Istimewa]
Rel kereta api di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id/Istimewa]

Akan Dioperasikan Bulan Oktober 2022, Pertama di Indonesia Timur

Mimpi masyarakat Sulawesi Selatan untuk menikmati moda transportasi kereta api rupanya bakal segera terwujud. Ini adalah yang pertama di Indonesia Timur.

Pemerintah merencanakan akan mulai mengoperasikan kereta api pada bulan Oktober 2022. Untuk tahap pertama, pengoperasian akan dilakukan dari Kabupaten Maros ke Barru, begitupun sebaliknya. Sambil menunggu proses pembangunan untuk segmen E atau jalur Maros-Makassar.

"Kita rencana operasi di bulan Oktober. Panjangnya kurang lebih 71 Km dari Maros ke Barru. Ini akan menjadi peradaban baru bagi Sulawesi Selatan," ujar Kepala Balai Pengelolaan Kereta Api Sulawesi Selatan, Amanna Gappa.

Pengoperasian perdana sudah bisa digunakan untuk angkutan penumpang. Kata Amanna, ada dua unit kereta sementara yang disiapkan untuk tahap pertama. Setiap unit dilengkapi dengan tiga gerbong.

"Kapasitas kereta sementara bisa mengangkut sekitar 100 penumpang. Untuk kereta baru sedang diproduksi di Madiun, perkiraan triwulan II tahun 2023 sudah ada di Makassar," ujarnya.

Tarifnya juga cukup murah karena skema subsidi. Hanya berkisar Rp5.000 sampai Rp10.000.

"Kita sudah ada kontrak dengan penyelenggara sarana. Angkutan ini ditanggung pemerintah lewat skema perintis. Artinya, berbiaya murah. Kita belum target komersil," ujarnya.

Ia menambahkan pihaknya sedang aktif mensosialisasikan keberadaan kereta api di Sulsel. Harapannya agar masyarakat beralih transportasi dari moda darat ke moda kereta api.

Foto : Antara
Foto : Antara

Dibuat Lebih Spesial

Kepala Seksi Peningkatan dan Perawatan BPKA Sulsel Arief Sudiatmoko menambahkan kereta api di Sulawesi Selatan dibangun lebih spesial dibanding Jawa dan Sumatera. Mulai dari ukuran rel hingga kecepatannya.

"Jalur kereta api di sini spesifikasi teknisnya lebih unggul dibanding di Pulau Jawa dan Sumatera. Lebar rel 1.435 milimeter, sedangkan di Jawa hanya 1.067 milimeter," ujarnya saat ditemui di kantornya, baru-baru ini.

Dengan lebar rel itu, kecepatan maksimal kereta api di Sulawesi Selatan bisa mencapai 200 kilometer per jam. Sementara di Jawa, kecepatan tertinggi hanya 120 kilometer per jam.

Rel di Sulawesi Selatan juga mampu menahan beban yang lebih berat.

Pada rel di Jawa, jumlah beban yang bisa ditahan ialah 18 ton, sedangkan di sini mampu menahan beban 22,5 ton. Dengan demikian, kereta api Sulawesi Selatan akan memiliki kapasitas angkut yang lebih besar.

Kereta api di Sulawesi Selatan juga dirancang tidak memiliki pelintasan sebidang, sehingga perjalanan kereta tidak akan mengganggu lalu lintas jalan raya. Maka risiko kecelakaan tabrakan kereta api dengan kendaraan, mobil atau sepeda motor bisa dikatakan tidak ada.

"Yang paling penting adalah bebas banjir," ujarnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini