SuaraSulsel.id - Lebaran Idul Fitri 1443 Hijriah semakin dekat. Umat muslim pun diminta untuk waspada. Terhadap kemungkinan terjebak dalam praktik riba.
Praktik riba yang sering muncul seperti adanya tawaran untuk membeli perabot atau perlengkapan rumah tangga. Dengan mekanisme cicilan. Tapi jika terlambat membayar ada denda yang harus dibayar.
Misalnya beli sofa, barang elektronik, atau perlengkapan lainnya. Jika terlambat satu hari akan mendapat denda Rp10 ribu. Satu bulan dendanya Rp300 ribu.
Tawaran-tawaran ini kerap muncul menjelang lebaran. Masyarakat pun diminta tidak tergoda. Tetap bersabar dan hidup sederhana. Tanpa harus terbebani dengan cicilan dan bunga.
Baca Juga:Jadwal Sholat dan Jadwal Imsakiyah Makassar dan Sekitarnya Minggu 24 April 2022
Sementara itu pada saat memasuki bulan Syawal, umat muslim kadang mendapatkan penawaran penukaran uang rupiah.
Beberapa orang menawarkan jasa penukaran uang. Misalnya uang 10 ribu jika ditukar dengan pecahan Rp1000 atau Rp2000 yang diperoleh hanya Rp8000 atau Rp9000.
Ada potongan Rp1000 atau Rp2000 sebagai biaya penukaran. "Ini tidak boleh," ungkap Ustadz Umar Ghani dalam ceramah subuh di Masjid Arraid Kompleks Pemda Manggala, Kota Makassar, Minggu 24 April 2022.
Untuk menukar uang pecahan kecil, umat muslim diminta tetap datang ke lembaga resmi. Seperti bank atau layanan kas keliling yang telah disiapkan pemerintah.
"Jangan karena tidak mau antre, kemudian menghalalkan riba," kata Umar.
Baca Juga:Jadwal Dan Doa Buka Puasa Wilayah Makassar dan Sekitarnya Sabtu 23 April 2022
Mengutip Wahdah.or.id, Riba merupakan salah satu dosa besar yang membinasakan sebagaimana disebutkan dalam berbagai ayat dan hadis, karena di dalamnya terdapat kezaliman terhadap orang lain, dan mengambil harta mereka lewat cara yang batil.
Bahkan, riba ini diharamkan juga pada agama-agama sebelum islam, karena ia bentuk kezaliman terhadap sesama manusia, karena setiap agama terdahulu tidak menghalalkan dan menyetujui adanya kezaliman.
Praktik riba ini merupakan juga salah satu kebiasaan kaum Yahudi yang kemudian Allah ta’ala larang mereka untuk melakukannya. Namun, karena mereka tidak mengindahkannya, maka Allah Ta’ala mengharamkan mereka banyak hal yang baik dan halal serta mengazab orang-orang yang melakukannya, sebagaimana dalam ayat:
Artinya: “Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.(Q.S. An-Nisa: 161).
Bahkan Allah Ta’ala menyerupakan pemakan riba ini dengan orang yang kerasukan setan, sebagaimana dalam ayat:
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.(Q.S. Al-Baqarah: 275).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah: “Para pemakan harta riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila dan tercekik.” (Tafsir Ibnu Abi Hatim: 2/544)
Dalam ayat ini, ketika Allah Ta’ala hanya menyebutkan “orang yang memakan riba”, bukan berarti para pemilik harta riba yang tidak memakannya tidak mendapatkan dosa, tapi Allah menyebutkan lafal “makan riba” untuk mengisyaratkan bahwa penggunaan harta riba oleh pemiliknya selain dimakan adalah haram juga.
Dia mengkhususkan lafal “makan riba” karena makan adalah bentuk karunia terpenting dan hawa nafsu terbesar dibandingkan dengan syahwat memiliki pakaian, tempat tinggal dan pernikahan, sebab tanpa makan tentunya tak akan ada kehidupan.
Sehingga, penggunaan harta riba dengan memakainya, menjadikannya sebagai rumah, atau biaya pernikahan tetaplah haram, karena hal terpenting saja yaitu makanan diharamkan adanya riba di dalamnya, apalagi yang urgensinya lebih rendah dari makanan.
Sebab itu, Allah Ta’ala tentunya memusnahkan keberkahan riba dan menghilangkan dampak positifnya dalam diri dan harta seorang insan. Ini tentunya bertolakbelakang dengan manfaat sedekah yang Allah Ta’ala berkahi dan tambahkan kebaikan padanya serta menetapkan dampak positif pada orang yang bersedekah. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.(Q.S. Al-Baqarah: 276).
Dalam hadis juga disebutkan:
Artinya: “Harta riba itu meski banyak, namun akibatnya adalah ia terus menerus berkurang (berkahnya).” (HR Ahmad: 3754).
Keberkahan harta yang disebutkan dalam Al-Quran pada hakikatnya adalah bukan bertambahnya jumlah atau kwantitas harta, namun bertambahnya dampak positif dari harta tersebut pada diri orang yang memilikinya.
Berupa tambahan rasa tentram, bahagia, rasa qana’ah atau merasa cukup, serta dimudahkannya banyak kebutuhan hidup, meskipun mungkin harta yang ia miliki pas-pasan, karena harta itu dicari dan dituntut dengan tujuan utama agar bisa memberikan kebahagiaan dan kenyamanan diri.
Betapa sering para pemilik harta haram tertipu dengan angka dan kwantitas harta yang mereka miliki, sehingga hal itu hanya menambah pada diri mereka kesempitan dada, ketidak tenangan serta keresahan jiwa.
Semakin hartanya bertambah, keresahannya untuk menjaga dan mengembangkan harta tersebut terus meningkat, sehingga ia tersibukkan dengannya dalam suasana hati yang tidak bahagia dan resah, karena khawatir tersaingi oleh orang lain, atau khawatir usahanya akan bangkrut.
Perlu diketahui, bahwa kesengsaraan dunia itu ada dua jenis:
1-Kesengsaraan berupa adanya kenikmatan dan harta yang Allah berikan pada seorang manusia dengan gambaran bahwa orang tersebut bergantung pada hartanya, bahkan ia terus-menerus mengejarnya tanpa henti, setiap kali meraih kadar harta tertentu, jiwanya semakin haus dengan tambahan harta yang lain, sehingga ia seakan tersiksa dengan aktifitasnya mengejar dunia tersebut.
2-Kesengsaraan berupa musibah atau penyakit. Jenis kesengsaraan ini selalu dihindari oleh manusia dengan cara mencari pengobatan dan penyembuhan serta berharap agar ia mendapatkan jalan keluar darinya, dan bila ia diberikan kesempatan untuk sembuh, ia pasti melakukannya.
Tentunya kesengsaraan yang paling besar adalah jenis yang pertama, karena secara lahir ia banyak harta, namun batinnya tersiksa dan sengsara menjadi “hamba” dunia. Orang seperti ini, bila diberikan kekurangan harta sedikit saja, ia tak akan mungkin mau, karena merasa kecanduan pada harta yang pada hakikatnya adalah suatu kesengsaraan yang ia tak sadari. Wallaahu a’lam. (Dirangkum dari At-Tafsir wa Al-Bayan: 542, dan 546).