SuaraSulsel.id - Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo terlihat menangis berulang kali, saat membacakan orasi ilmiah. Ia mengaku mengingat nasehat kedua orang tuanya.
Syahrul Yasin Limpo mengatakan almarhum ayahnya selalu berpesan, "Jaga dan jangan mencederai kepercayaan masyarakat dan bangsa dalam menjalankan pemerintahan dan politik".
"Dan ibu saya juga berpesan, 'sekolah ko. Hanya orang berilmu yang bisa memberi manfaat untuk masyarakat. Hanya orang yang sekolah yang bisa memimpin pemerintahan'," ujarnya, Kamis 17 Maret 2022.
Syahrul mengatakan almarhum ayahnya mengajarkan pentingnya kesetiaan dan loyal pada masyarakat, kepercayaan bangsa dan negara. Sedangkan ibunya memberi kekuatan untuk terus menjadi pembelajar.
Baca Juga:Banyak Dapat Ilmu di Warung Kopi, Syahrul Yasin Limpo: Saya Profesor Lapangan
"Pesan Tetta dan Bunda telah mengalir menjadi spirit dalam perjuangan hidup saya," ujarnya tersedu-sedu.
Syahrul kembali menangis saat menutup orasinya. Pertama-tama, ia mempersembahkan pangkat profesornya kepada ibu dan almarhum ayahnya.
"Pencapaian ini sebagai kuntum bunga di atas kuburmu. Kepada ibunda, semoga tetap sehat dan diberi umur panjang," ujarnya.
Syahrul kembali tak kuasa menahan tangis saat menyebut anaknya yang sudah almarhum, Rindra Sujiwa Putra Syahrul. Kemudian melanjutkan menyebut nama cucunya satu per satu.
"Cucuku, pandanglah ke mimbar ini, terima lah ini sebagai perlambang bahwa engkau pun akan mampu mencapai mimpimu dalam hidupmu," sebut mantan Gubernur Sulsel dua periode itu.
Baca Juga:Ketua Dewan Profesor Unhas: Syahrul Yasin Limpo Tidak Dapat Gelar Profesor Kehormatan
Syahrul sendiri dikukuhkan sebagai guru besar atau profesor kehormatan di bidang ilmu hukum Universitas Hasanuddin, Kamis, 17 Maret 2022. Ia membawakan orasi ilmiah berjudul "Hibridisasi Hukum Tata Negara Posivistik Dengan Kearifan Lokal Dalam Mengurai Kompleksitas Kepemerintahan".
Berikut naskah lengkap orasi ilmiah guru besar Syahrul Yasin Limpo:
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat yang diberikan sehingga saya dapat berdiri di forum terhormat ini. Forum ini merupakan muara dari kerinduan saya untuk selalu berada di jalur keilmuan, terlepas dari posisi saya sebagai birokrat sejak masih belia.
Saya percaya bahwa Allah menyukai orang yang suka belajar dan berbagi pengetahuan. Bukankah Allah menjanjikan akan menaikkan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu? Insha Allah, atas dasar keimanan itulah saya berharap senantiasa berada di jalur keilmuan ini.
Sebelumnya, perkenankan saya menjelaskan latar belakang saya. Saya menempuh pendidikan formal pada program S1, S2 dan S3 Ilmu Hukum, juga Ilmu Adminstrasi Negara. Di balik pendidikan formal itu, saya terlibat di dunia pemerintahan lebih 40 tahun sebagai medan pengabdian saya sepanjang hidup.
Selain itu, saya juga memberikan sebagian kapasitas diri saya dalam organisasi masyarakat dan partai politik. Akhirnya, dalam diri saya berkelindan tiga arus yang membentuk cara berfikir dan bertindak saya.
Pertama, ilmu hukum dan administrasi negara yang saya pelajari secara formal, memahamkan saya tentang kebenaran berbasis teoritik keilmuan. Kedua, pengalaman dalam birokrasi pemerintahan, memahamkan saya bahwa tujuan utama kepemerintahan adalah membangun rahmat bagi kehidupan seluruh masyarakat.
Di sana saya belajar menjadi pendengar untuk suara yang paling lirih sekalipun, agar mengetahui apa sesungguhnya yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan mendorong sebanyak mungkin partisipasi masyarakat.
Ketiga, pengalaman berpolitik, yang memampukan saya membaca reaksi atas sebuah aksi. Di sana saya belajar untuk mampu melihat lawan politik sebagai sahabat, untuk mampu mematikan dendam di dalam diri, untuk mampu menghapus frasa "musuh" dalam kamus kehidupan. Pelajaran-pelajaran ini diperkuat oleh nasehat kehidupan kedua orang tua saya.
Dalam 20 tahun terakhir, diam-diam saya rutin membuka "kelas khusus" di warung kopi, di rumah, dan di kantor. Saya mengundang belasan profesor dan doktor dari berbagai latar pengetahuan untuk mendiskusikan sesuatu.
Mereka berbicara sesuai bidang ilmunya, diam-diam saya mendengar, menyimak, mencatat, bertanya, dan bahkan sembunyi-sembunyi merekam percakapan kolega yang maha terpelajar itu. Kenapa harus diam diam dan sembunyi-sembunyi? Agar wakil gubernur, gubernur atau menteri ini tidak terkesan kurang cakap.
Dengan itu, mestinya saya sudah berkali-kali menamatkan pendidikan doktoral, karena "kelas khusus" itu tidak diajari oleh satu guru besar dengan durasi 90 menit, tetapi saya sekaligus diajari oleh belasan guru besar dengan beragam bidang ilmu dalam waktu lebih dari dua jam.
Bagi saya, pidato pengukuhan ini merupakan pertanggungjawaban "pengetahuan senyap (tacit knowledge) yang saya punyai dan saya praktekkan dalam keterlibatan pada dunia pemerintahan.
Ini adalah pengetahuan dari lapangan, ini adalah pidato professor lapangan. Saya menjalani karir di dunia pemerintahan dengan memanfaatkan pengetahuan formal dari ilmu hukum dan administrasi negara dan kearifan lokal dari warisan leluhur Bugis-Makassar.
Dengan dasar itulah, pidato ini saya beri judul "Hibridisasi Hukum Tata Negara Positivistik dengan Kearifan Lokal dalam Mengurai Kompleksitas Kepemerintahan. Semoga pemikiran ini dapat dipetakan menjadi pengetahuan eksplisit dalam perspektif hukum tata negara dan kepemerintahan.
Hadirin yang saya muliakan,
Konsep hibridisasi dalam judul ini sebagiannya diinspirasi dari ilmu pertanian. Ia digunakan untuk menjelaskan proses persilangan dua varietas tanaman yang masing-masing memiliki keunggulan guna menghasilkan varietas baru yang lebih unggul. Selama ini tanpa sadar saya telah menggunakan suatu produk hybrid untuk mengatasi kompleksitas kepemerintahan, khususnya ketika saya sebagai gubernur dan menteri.
Saya berhipotesis bahwa capaian saya sebagai Gubernur Sulawesi Selatan dan Menteri Pertanian disebabkan oleh produk unggul di bidang tata kelola pemerintahan itu, yang lahir dari proses trial and error. Saya mengartikan hibridisasi sebagai persilangan antara ilmu hukum tata negara positivistik dengan pengetahuan hukum dan pemerintahan yang bersumber dari kearifan lokal.
Ia menjadi kesatuan pengetahuan yang bersintesis terus menerus dan teraplikasikan dalam karir kepemerintahan saya.
Perlu saya sampaikan bahwa meskipun sama-sama hukum publik, hukum tata negara merupakan pengaturan bernegara secara umum yang tidak hanya mengatur soal norma dasar bernegara tetapi juga mengatur soal alat kelengkapan negara dan hubungan antar lembaga negara serta hubungan antara negara dengan rakyat.
Sedangkan hukum pidana lebih mengatur soal kepentingan keamanan dan ketertiban khususnya yang terkait dengan persoalan tindakan atau perbuatan jahat yang dilakukan oleh negara atau rakyat. Adapun hukum perdata lebih kepada hubungan pribadi atau private yang berkenaan dengan soal pemenuhan hak dan kewajiban dalam perhubungan hukum.
Pimpinan negara perlu memahami hukum tata negara agar tidak salah mengambil kebijakan negara yang berbeda dengan kebijakan pemerintahan, sebab kalau tidak maka hal inilah yang membuat arahan untuk mencapai kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia sulit terwujud.
Kepemerintahan saya pahami sebagai sesuatu yang kompleks, karena ia melibatkan interaksi dari banyak komponen, interaksi dari banyak komponen itu memunculkan ciri volatilitas, ketidakpastian, dan ambiguitas. Kompleksitas adalah bagian dari VUCA (volatility, uncurtainty, complexity, ambiguity) yang tengah melanda dunia.
Dunia telah mengalami disrupsi akibat revolus industri 4.0, dampak pandemik Covid-19, perubahan iklim, konflik global, dan berbagai situasi turbulensi pada bidang ekonomi dan sosial. Kita tentu sepakat bahwa kita harus mampu merespons perubahan yang cepat dan dipercepat ini, yang bisa membuat kita gamang menghadapinya bila tidak benar-benar siap. Untuk itu, peranan hukum tata negara yang adaptif dengan kearifan lokal semakin penting dikuasai oleh penyelenggara negara.
Hadirin yang saya muliakan,
Saya ingin memulai pidato ini dengan meneropong hukum tata negara dalam kaitannya dengan praktek kepemerintahan. Secara ontologis, perkembangan pemikiran hukum tata negara di Indonesia adalah warisan hukum Eropa Kontinental yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda.
Secara epistemologis, hukum tata negara ini mengikuti tradisi paradigma positivisme, yang merupakan main-stream di tanah asalnya. Sebagaimana karakteristik paradigma positivistik, ia selalu memandang sesuatu sebagai hasil dari positivisasi. Hukum dipandang sebagai tumpukan dari norma-norma yang telah dirundingkan oleh warga masyarakat, sebagai sistem aturan yang bersifat otonom dan netral.
Perkembangan ilmu hukum semacam ini mendapat dukungan kuat dari kaum academic jurists, pada komunitas inilah tumbuh kewenangan akademik dan profesional dalam menginterpretasi hukum. Arah selanjutnya, komunitas ini mendorong tatanan hukum yang kukuh lan rasional.
Inilah obsesi paradigma positivisme. Paradigma ini berusaha terus memapankan bangunan hukum menjadi lebih rasional dan logis. Namun demikian, dominasi pemikiran hukum tata negara positivistik ini telah mendapat tantangan dari pemikiran yang menempatkan studi hukum tata negara pada konteks yang lebih luas dan dinamis, tidak pada perundang-undangan semata-mata.
Dengan kata lain, hukum tata negara harus semakin memiliki keselarasan dengan logika sosial, politik dan budaya masyarakat. Akan tetapi, pemikiran hukum berbasis struktur sosial dan budaya masyarakat ini, masih tetap merupakan suara pinggiran.
Saya berpendapat, gambaran hukum tata negara selama ini kurang cukup untuk menjelaskan situasi hukum di Indonesia. Kita membutuhkan teori hukum yang disamping bisa memberikan outline hukum di Indonesia, juga dapat menjelaskan keadaan hukum dalam masyarakat secara seksama dan proporsional. Karena saya berkeyakinan, hukum nasional kita sesungguhnya bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa.
Sangat jelas, hukum nasional merupakan hasil asimilasi sistem hukum yang tumbuh kembang dari produk budaya Nusantara, yang berjangkauan ke Indonesia-an. Dari sini dapat ditafsirkan bahwa sistem hukum nasional sesungguhnya bersumber dari protipe sosial budaya seluruh nafas rakyat Indonesia, sejauh batas-batas nasional negara Indonesia.
Berkaitan dengan ini, pembangunan tata hukum nasional harus berwawasan ke-Indonesia-an, selain harus pula bersesuai dengan tata hukum global.
Secara faktual, perkembangan sistem hukum tata negara di Indonesia dipengaruhi oleh dinamika intelektual dan pemikiran yang terjadi di Eropa. Intelektual hukum Indonesia lebih dulu berkenalan dengan pemikiran aufklarung yang mendorong rasionalisme dan empirisisme, ketimbang mendalami kearifan lokal Indonesia.
Pemikiran John Locke, Thomas Hobbes, Adam Smith, Frederich Hegel, Karl Marx dan lainnya dipelajari dengan sungguh-sungguh, demikian juga dengan konsep individualisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan marxisme jauh lebih didalami, dibanding mengakrabi pemikiran hukum, politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh Amanna Gappa misalnya, tentang hukum Maritim pada abad 17.
Begitu juga, dunia intelektual kita tidak menggali dan mendalami istilah pangadereng atau pangadakkan dalam masyarakat Bugis-Makassar misalnya, yang di dalamnya terkandung unsur yang menata norma dan adat. Terbilang
misalnya ade akkalibinengeng, yaitu norma yang mengatur hal ihwal perkawinan serta hubungan kekerabatan; atau ade tanaatu, yaitu norma yang mengatur kaidah pemerintahan, kebangsaan dan kenegaraan.
Unsur lain dari pangadereng adalah bicara, yaitu konsep yang bersangkut paut dengan peradilan, semacam hukum acara, yang menentukan prosedur serta hak dan kewajiban seorang yang sedang mengajukan kasusnya di muka pengadilan. Istilah yurisprudensi dalam tata hukum modern sudah termaktub dalam pangadereng Bugis-Makassar ratusan tahun silam dengan istilah rapang, yang merupakan semacam contoh, perumpamaan, kias atau analogi.
Dengan itu rapang menjaga kepastian dan kontinyuitas keputusan hukum tak tertulis dalam lintasan masa. Rapang memuat perumpamaan ideal dan etika dalam lapangan hidup tertentu seperti kekerabatan, perpolitikan, dan kepemerintahan; rapang juga memuat pandangan filosofis yang keramat untuk mencegah tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik atau keamanan individu warga masyarakat.
Unsur lain dalam pangadereng adalah wari'. Wari' mengatur klasifikasi dari segala benda, peristiwa dan aktivitas dalam kehidupan masyarakat. Ia mengatur tata susunan pengetahuan dan benda-benda serta jalur dan garis keturunan yang kemudian mewujud dalam pelapisan sosial; ia juga mengatur hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja dari negara lain, sehingga dapat ditentukan posisi mereka dalam tata upacara kebesaran.
Kearifan lokal Bugis-Makassar juga dapat disingkap melalui berbagai pesan-pesan kebajikan (pappasang) dalam lontaraq. Saya ingin mengutip satu pesan kebajikan yang menurut saya sangat relevan dengan ketatanegaraan dan kepemerintahan.
Siri'na tau mabbutayya niakki ri pammarentaya, Pa'rupanna gauka niakki ri tau jaiya, parentaia taua ri ero'na.
Artinya, harkat, martabat dan gengsinya rakyat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah. Perwujudan dari segala upaya ada kalau rakyat terlibat dan melibatkan diri di dalamnya, Maka perintahkan rakyat seperti yang mereka harapkan dan butuhkan.
Pranata Bugis yang menegaskan pentingnya pemimpin dan pemerintah termaktup dalam petikan lontaraq berikut ini;
Narekko makkompe'i beccie'e masolanni lipu'e. Leggai'i welong panasa'e masoobbuni lempu'e. Ri tongengengi salae, ripassalai tongengng'e. Si anre bale tau'e. Si balu-balu si abbelli-belliang. Natuoini serri' dapurengnge, Ri-paoppang palungenge, ri sappeang pattapie. Ri sellorang alue...
Artinya, bilamana norma tidak dipatuhi maka rusaklah negeri ini. Tidak memutik pucuk nangka (kejujuran), bersembunyi kebenaran. Dibenarkan yang salah, dan disalahkan yang benar. Saling makan-memakanlah orang bagaikan ikan, saling jual-menjual, saling beli-membeli. Dapur ditumbuhi rerumputan, lesung ditelungkupkan penampi beras digantung. Penumbuk padi disandarkan... (Mattulada, 1985:343).
Saya sengaja menceritakan kearifan lokal Bugis Makassar terkait hukum tata negara dan kepemerintahan yang dipraktekkan pada masa lampau, untuk mengingatkan sistem hukum Indonesia agar mempertimbangkan basis budaya dan aspek sosiologis dalam teorisasi hukum. Saya menyadari, upaya untuk menampilkan secara holistik pemikiran hukum sebagai basis teorisasi hukum di Indonesia adalah pekerjaan besar yang membutuhkan ketelatenan, terutama oleh komunitas akademia.
Oleh karena, teorisasi hukum yang demikian mengandung kompleksitas yang tinggi, bukan hanya mengacu pada konsep hukum normatif semata-mata, akan tetapi juga mempertimbangkan setting sosial, budaya dan politik kita sendiri. Langkah yang perlu digagas dan komitmen yang harus ditegaskan adalah, bangsa Indonesia harus berani menentukan apa yang paling baik bagi bangsanya, termasuk dalam membangun teori hukum yang memiliki karakteristik ke Indonesiaan.
Bila perlu, kita membutuhkan cara pandang yang terhadap hukum tata negara, seperti yang dikembangkan oleh aliran critical legal studies. Mereka menganalisis secara tajam hukum tata negara yang direlasikan dengan ekonomi, politik, kebudayaan, idiologi, bahasa dan nilai. Pendekatan kritis pada ilmu hukum tata negara akan mengisi dan mewarnai "kekosongan besar" karena redupnya diskursus hukum tata negara selama rezim Orde Baru.
Ini penting, karena kita semua sedang hidup dalam satu alam besar yang bernama globalisasi. Aras global adalah hasil pertautan tak terhingga dari aras-aras lokal, pertautan ini saya sebut sebagai proses glokalisasi menyatunya yang lokal menjadi global ataupun bertautnya yang global kepada yang lokal. Situasi ini semestinya menyadarkan kita semua, untuk bersiaga memasuki pemikiran dan teorisasi hukum yang mungkin saja merespons pemikiran postmodernisme."
Hadirin yang saya hormati,
Pada bagian berikut ini saya akan menguraikan bagaimana saya berselancar di tengah kompleksitas kepemerintahan melalui hibiridisasi ilmu hukum positivistik dengan kearifan lokal. Kepemerintahan (governance) merujuk pada cara sebuah rezim melaksanakan amanat dengan semestinya demi kemaslahatan masyarakat melalui pengelolaan berbagai sumberdaya.
Berdasarkan pengalaman saya, tata kelola pemerintahan disebut baik, apabila pelayanan publiknya berlangsung efektif dan efisien, penyelenggaraan pemerintahannya dapat dipertanggungkan, dan proses pemerintahannya melibatkan sebanyak-banyaknya unsur masyarakat.
Secara formal keilmuan, praktik kepemerintahan saya diinspirasi oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1993) dalam bukunya yang populer saat itu, Reinventing Government. Mereka melihat pemerintahan Amerika Serikat cenderung berkutat pada penerapan aturan dan administrasi formal serta semakin menjauhkannya dari dinamika dan aspirasi rakyat. Makanya mereka melihat spirit tata kelola yang baik pada dunia entrepreneur yang dinilainya dapat ditransformasi ke tata kelola pelayanan publik.
Karena itu banyak pihak menerjemahkan reinventing government dengan istilah "mewirausahakan birokrasi". Bagi saya yang akrab dengan kearifan lokal dari berbagai pesan nenek moyang, melihat kepemerintahan yang berbasis pada hukum tata negara dan aturan administrasi yang rigid justru perlu dikawinkan dengan kearifan lokal, agar memiliki spirit partisipatif yang dapat mendorong peran aktif masyarakat. Inilah hibridisasi hukum tata negara positivistik dengan kearifan lokal yang saya yakini dan telah saya praktikkan untuk berselancar di tengah kompleksitas kepemerintahan.
Menyebut kata pemerintahan dalam hubungannya dengan obsesi saya menjadikan pemerintahan sebagai rahmat dan perlindungan bagi segenap rakyat, tidak terlepas dari cara saya memaknai kata pemerintahan itu sendiri. Sejatinya kata pemerintahan berasal dari bahasa Yunani, yang kemudian dikenal luas dalam bahasa Inggris dengan kata government yang berasal dari kata govern yang berarti pengaturan.
Penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata pemerintah, lebih bermakna bos atau amtenaar, daripada pengatur atau pengelola. Pemaknaan govern ini akan terasa lebih fungsional bila kita merujuk pada penjenjangan jabatan administrasi pemerintahan dimana hirarki tertinggi disebut Pembina (Golongan IV), lalu Penata (Golongan III), Pengatur (Golongan II) dan Juru (Golongan 1).
Dengan demikian, fungsi aparat pemerintah bukan semata mengerjakan tugas administrasi melainkan lebih luas dari itu yakni mengarahkan, membina dan mengatur pelayanan publik. Bisa dibayangkan bila makna pemerintahan tidak benar-benar dikembalikan kepada substansinya, bisa jadi aparat pemerintah akan tetap lebih menganggap dirinya sebagai pihak yang harus dilayani, bukan sebagai pelayan masyarakat.
Kita telah belajar dari sejarah bahwa pengelolaan pemerintahan yang buruk bisa berakhir pada pelengseran pemimpin pucuknya yang dianggap paling bertanggungjawab. Ini telah berlaku pada Orde Baru yang berkuasa selama tiga dasawarasa Hadirnya Orde Reformasi, yang dicirikan oleh kebebasan berekspresi dan berpendapat, sangat kuat mengajukan tuntutan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yakni penatakelolaan yang lebih akuntabel, transparan, bersih, demokratis dan aspiratif.
Penentangan yang kuat terhadap perilaku koruptif, kolutif dan nepotif membuat posisi pemerintah tampak melemah berhadapan dengan posisi masyarakat sipil. Hal ini dikarenakan kekuasaan masyarakat sipil dalam menentukan pemimpin puncak organisasi pemerintah, terutama yang disebut sebagai jabatan politik, semakin kuat.
Namun saya memaknai bahwa kita tidak hanya membutuhkan good governance, yang tidak kalah pentingnya adalah kepemerintahan harus kuat atau strong, dalam arti sanggup bersikap tegas dan konsisten menghadapi tekanan dan tarik menarik berbagai kepentingan.
Dengan pemahaman demikian itulah, pada periode pertama sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, saya mengusung visi terpenuhinya hak dasar masyarakat. Saya menjalankan kebijakan pendidikan dan kesehatan gratis melalui bantuan keuangan kepada pemerintah kabupaten dan kota, dengan kesadaran bahwa pemerintah wajib memenuhi hak dasar rakyat atas layanan pendidikan dan kesehatan.
Saya mencanangkan pencapaian surplus beras Sulawesi Selatan melalui peningkatan produktivitas pertanian, dengan kesadaran bahwa pemerintah wajib memenuhi hak dasar rakyat atas pangan. Pada periode kedua sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, saya menganggap bahwa sudah waktunya daerah ini melakukan tinggal landas, melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan optimalisasi posisi Sulawesi Selatan sebagai hub dalam pergerakan manusia, barang, uang dan informasi di Indonesia Timur saat itu.
Pemahaman kepemerintahan yang saya hibiridisasi dari pengetahuan hukum tata negara dan administrasi pemerintahan secara formal dengan kearifan lokal serta refleksi dari pengalaman tersebut, juga saya terapkan dalam menjalankan amanah sebagai Menteri Pertanian saat ini. Kami mengupayakan adanya data tunggal sebagai landasan dalam mengoperasikan kebijakan pertanian, karena saya sadar bahwa perencanaan harus berbasis evidence dan kinerja juga harus dilacak dengan evidence, dan evidence basisnya adalah data yang valid. Kami mendorong petani milenial dan transformasi digital dalam praktek pertanian, karena kami sadar bahwa saat ini telah terbentuk generasi baru petani (new peasant generation) yang mengandalkan teknologi digital dan didorong oleh spirit entrepreneurship.
Petani milenial ini kami harapkan bahu-membahu dengan petani generasi tua dalam memajukan dan memoderenkan pertanian Indonesia. Kami juga berupaya membongkar mitos bahwa kita tidak bisa swasembada beras, dengan membuktikan bahwa kita bisa tidak impor beras, setidaknya dalam tiga tahun terakhir.
Hadirin yang saya muliakan,
Pengalaman pada birokrasi memberi saya keyakinan bahwa tantangan kompleksitas dihadapi oleh semua struktur dan level pemerintahan. Kompleksitas pemerintahan itu berkisar pada soal penerapan kebijakan, struktur dan prosesnya, hingga evaluasi keluarannya.
Isu terkini tentang kapasitas organisasi pemerintah di dunia adalah bagaimana menyelesaikan masalah pelik yang terjadi dengan tiba-tiba dan tidak terprediksi. Pandemik Covid-19 saat ini adalah contoh nyatanya. Di sisi lain, perkembangan sains dan teknologi yang cepat, hampir selalu melampaui limit kapasitas organisasi dan administrasi pemerintah dalam meresponsnya. Kemajuan sains dan teknologi dan kompleksitas di baliknya telah membawa sejumlah dilemma dalam kepemerintahan.
Dari pengalaman saya menghibridisasi ilmu hukum dan pemerintahan positivistik dengan kearifan lokal masyarakat, saya sampai pada pelajaran penting (learning point) bahwa pemimpin harus bijaksana dan mawas diri ketika mengelola kekuasaan dan politik dalam relasinya dengan tatanan masyarakat. Ia dapat menjadi pemicu kehidupan yang demokratis, dapat menjadi engine untuk akselerasi kesejahteraan rakyat, dan dapat menjadi perisai untuk perlindungan rakyat.
Untuk itu, pemimpin sebagai agen sekaligus struktur yang bertugas menyambungkan nilai-nilai kreatif masa lalu dengan masa sekarang dan masa depan, seyogianya memiliki tiga kapasitas sekaligus. Pertama, kapasitas adaptif, agar tidak terjadi diskontinyitas.
Kapasitas ini bisa menjadi alat untuk berselancar agar semua nilai positif masa lalu, masa kini, dan masa depan melebur menjadi satu fitur baru yang terus menjaga eksistensinya. Kedua, kapasitas harmoni, agar keseimbangan terjaga. Dengan keseimbangan yang terjaga, kita semua akan bisa sampai kepada tujuan yang substantif.
Turbulensi, gesekan, dan chaos tumbuh subur dari ketidakseimbangan. Instrumen yang paling kuat dalam kapasitas harmoni adalah perikeadilan. Ketiga, kapasitas partisipatif, agar pencapaian tujuan bersama melibatkan sebanyak mungkin individu, kelompok, entitas, komunitas, etnis, suku dan agama.
Dalam dunia kepemerintahan, bukanlah kesuksesan mencapai tujuan yang terpenting, tetapi bagaimana proses mencapai tujuan jauh lebih utama. Pemimpin yang hebat adalah mereka yang mampu berlari dengan cepat, tetapi ia sampai di tujuan secara bersama mitra, pengikut dan bahkan lawannya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing