SuaraSulsel.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar menyatakan akan menyerahkan bukti baru terkait kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oleh oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial SA (43 tahun) terhadap tiga orang anak di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Sulawesi Selatan (Sulsel). Bukti itu akan diserahkan jika Mabespolri membuka kembali dan mengambil alih penanganan kasus tersebut.
Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir mengatakan dasar kepolisian menghentikan penyelidikan kasus dugaan pencabulan di Kabupaten Lutim ini adalah dari hasil asesmen Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lutim, yang menyatakan bahwa anak-anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor. Cara yang dilakukan ini, kata Haedir, sudah salah karena mempertemukan antara korban dan pelaku.
"Berdasarkan aturannya, prosedurnya itu tidak boleh dilakukan. Prosedur sejauh ini malah dia harus dijauhkan dari korban. Pelaku dengan korban harus dijauhkan, tidak boleh dipertemukan. Dia suruh datang pelaku untuk ketemu katanya asesmen," kata Haedir di Kantor LBH Makassar, Jalan Nikel, Sabtu (9/10/2021).
Senada dengan Haedir, Rezky Pratiwi selaku tim kuasa hukum korban dari LBH Makassar menerangkan bahwa bukti-bukti baru tersebut sebenarnya sudah diajukan pihaknya di Polda Sulsel saat gelar perkara pada Maret 2020 lalu. Agar kasus tersebut dapat dibuka kembali penyelidikannya.
Baca Juga:Marah Kasus Anak Dirudapaksa Ayah di Luwu Timur, Ashanty: Itu Biadab
"Kami sudah mengajukan sejak gelar perkara pada Maret 2020. Kami juga siap mengajukan kembali bukti-bukti yang sudah kami ajukan kepada polri ketika sudah diputuskan bahwa kasus ini akan dibuka kembali penyelidikannya dan diambil alih," terangnya.
Dia mengungkapkan bukti-bukti baru tersebut terdiri dari laporan psikolog anak di Kota Makassar yang menyatakan telah terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor dan dua orang lainnya lagi.
Selain itu, juga ada petunjuk foto-foto para anak yang kemerahan pada bagian intim. Kemudian ada petunjuk rujukan dari dokter lain yang menerangkan terdapat diagnosa Child Abose dan kerusakan pada organ intim.
"Itu kami akan serahkan jika polri sudah mengambil sikap bahwa kasus ini akan dibuka penyelidikannya kembali dan akandiambil alih," jelasnya.
Dia menjelaskan meskipun dalam dua surat visum yang dinilai penyelidik tidak ada menunjukan kelainan pada korban. Tetapi, menurut keterangan ahli kuasa hukum korban selaku tim yang telah berpengalaman dalam kasus anak menyatakan bahwa tidak selalu surat visum menunjukan indikasi kekerasan seksual.
Baca Juga:Oknum ASN Perkosa 3 Anak , Identitas Korban Disebar Media Tribata News Setempat
Sehingga, bukan berarti kekerasan seksualnya tidak terjadi. Apalagi, kata Rezki, pihaknya mempunyai petunjuk bahwa terdapat bekas fisik pada para anak.
Kata dia, dalam pemeriksaan anak, yang paling ideal adalah orang yang memeriksa harus berkompeten dan memiliki kafasitas untuk melakukan pemeriksaan terhadap para anak. Jika metode pemeriksaannya dilakukan di depan orang lain, tiba-tiba bertemu tanpa pendekatan lebih dahulu maka para korban akan tertekan ketika memberikan keterangan.
"Jadi meskipun visumnya nihil, yang penting kita ada petunjuk dulu dan yang utama adalah ketika menggali kasus-kasus kekerasan seksual ini, adalah para anak itu menerangkan kekerasan seksual itu terjadi dari terlapor, bahkan disebut ada dua orang lain. Berangkatnya disitu. Kalau anak sudah mengatakan sudah mengalami, semestinya proses penyelidikan yang mengikuti," kata dia.
"Proses itu dilakukan oleh psikolog anak yang bersertifikat. Memang punya izin untuk melakukan itu. Kami tidak tahu secara detail tetapi psikolog kan punya metode untuk menggali keterangan anak, menemukan fakta-fakta sehingga fakta itu terungkap. Makanya penting sekali pelibatan psikolog atau pendamping dalam pemeriksaan para anak. Jadi ketika tidak mendapatkan pendampingan sama sekali, wajar saja kalau keterangannya tidak utuh. Kalau dari keterangan psikolog yang memeriksa anak di Makassar. Yang dialami adalah gangguan kecemasan, karena kekerasan seksual. Jadi tidak trauma tapi tetap menyatakan kekerasan seksual terjadi, jadi tidak boleh ditafsirkan serampangan bahwa ketika tidak ada kelihatan trauma maka tidak ada terjadi kekerasan seksual," pungkasnya.
Diketahui, kasus ini dilaporkan pada Oktober 2019 silam. Sialnya, polisi yang menangani kasus itu menghentikan proses penyelidikan dalam waktu singkat. Dengan mengeluarkan surat penghentian penyelidikan pada 19 Desember 2019.
Kontributor : Muhammad Aidil