“Saya adalah wakil ketua Pansus Rancangan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu. Dimana saat itu, kita mencantumkan pasal bahwa dalam penyelenggaraan perempuan 30% perempuan. Tetapi banyak anggapan yang meragukan kualitas perempuan,” ungkap Yuliani Paris, selaku inisiator Kaukus Perempuan Politik Sulsel.
Yuliani Paris menambahkan kisah pada saat menyusun Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Menangah (RPJM). Pada waktu itu, Yuliani Paris memasukkan tentang Indeks Pembangunan Gender. Yuliani Paris mendorong organisasi sayap perempuan harus mampu melakukan Analisa terhadap sistem sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat.
Selain itu, penting adanya dorongan untuk penggunaan dana kepada partai politik dalam melakukan pendidikan politik yang berasal dari APBN, baik formal maupun non formal.
Pada Sesi Kedua, Luna Vidya mengajak narasumber untuk menyampaikan argumentasi secara lebih spesifik terkait hambatan dan tantangan terkait isu yang diangkat.
Baca Juga:Relawan Perempuan untuk Pemulasaran Jenazah Covid-19 Minim, Ini Langkah Pemkab Bantul
Wardani menyampaikan bahwa begitu banyak tantangan dan hambatan dan yang dialami oleh perempuan untuk terlibat aktif dalam politik, termasuk perempuan yang sudah berada dalam rana parlemen. Wardani menyampaikan bahwa selama ini politik dianggap sebagai power yakni merebut melalui praktek suap, korupsi dan cara lainnya.
Anggapan seperti ini harusnya diluruskan melalui pendidikan politik. Wardani menganggap bahwa program pendidikan politik di Kebangpol itu ada, tetapi konten pembahasannya tidak ada jaminan ketercapaian pemenuhan hak perempuan.
Madewanti menyampaikan bahwa Analisa relasi kuasa menjadi seuatu yang harus dilakukan, terkait dengan kelas, status sosial dan status ekonomi yang dimiliki oleh laki-laki atau perempuan. Bias gender dan bias kelas yang ada di parlemen menutup ruang untuk perempuan dapat mengembangkan diri.
Madewanti juga mengangkat tentang patriarki yang terinternalisasi bahwa perempuan yang ada di parlemen yang latar belakangnya dari status sosial yang tinggi, tidak menggap masalah yang ada di perempuan pinggiran itu menjadi masalah bersama.
Kesadaran kritik sesama perempuan untuk memandang permasalahan perempuan masih sangat kurang. Selain itu, hadir juga prosesn victim blaming terhadap perempuan. Ditambah lagi, media kampanye tidak pernah mengangkat peran serta calon legilatif terhadap perempuan.
Baca Juga:Viral Cewek Ungkap Cowok Ideal Harus Punya Gaji Rp 25 Juta: Perempuan Harus Realistis
Pada sesi terakhir, Luna Vidya meminta pandangan closing statemen dan pesan yang harapkan dari ketiga narasumber terkait tema yang diangkat.
Andi Yuliani Paris menyampaikan bahwa interaksi sosial di masyarakat menjadi sesuatu yang paling penting bagi wakil rakyat. Lembaga survei penting untuk mengubah anggapan keterpilihan perempuan bukan hanya terkait elektabilitas, harusnya dari rekam jejak nyata.
“Masyarakat jangan hanya sekedar melihat ketenaran dari calon dan gelar yang dimiliki. Saya berupaya untuk membangun pendidikan politik bagi masyarakat, bahwa calon rakyat tidak memberikan uang, tetapi memberikan pelayanan kepada masyarakat.”, ungkap Yuliani Paris dengan sangat tegas dan luas kepada masyarakat.
Madewanti mengajak peserta untuk melakukan refleksi bersama untuk tidak apolitis dan tidak alergi terhadap partai politik.
“Partai politik sebagai kendaraan politik, perlu melakukan perbaikan internal partai dan menemukan srikandi baru seperti Ibu Andi Yuliani. Sosialisasi dan diseminasi yang dilakukan oleh partai politik harus dipublikasikan. Pemanfaatan media untuk kampanye yang dapat menjangkau masyarakat lebih luas juga harus dioptimalkan,” ungkap Madewanti.
Madewanti menganggap bahwa peremopuan yang ada dalam parlemen harus mendapatkan support dan asupan yang data yang lebih untuk dapat melihat kondisi perempuan secara menyeluruh sampai dengan yang ada di akar rumput.