5 Fakta Sejarah Benteng Somba Opu, Milenial Wajib Lihat

Benteng Somba Opu adalah saksi sejarah yang ditelantarkan

Muhammad Yunus
Rabu, 11 Agustus 2021 | 17:56 WIB
5 Fakta Sejarah Benteng Somba Opu, Milenial Wajib Lihat
Bagian Tenggara Benteng Somba Opu dieksvakasi oleh Peneliti Unhas. Kawasan ini disebut sebagai pintu gerbang paling kuat dan sulit dihancurkan pada masanya [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Benteng Somba Opu adalah saksi sejarah yang ditelantarkan. Benteng peninggalan kerajaan Gowa ini jadi bukti betapa gigihnya para pejuang mempertahankan tanah air dari penjajah Belanda.

Benteng Somba Opu terletak enam kilometer ke arah selatan dari kota Makassar. Di sana masih tersisa puing-puing batu benteng yang tingginya sekitar dua meter.

Kendati tidak terurus, Benteng Somba Opu menyisakan banyak fakta sejarah. Berikut beberapa fakta soal Benteng Somba Opu yang dirangkum SuaraSulsel.id.

1. Benteng Terkuat

Baca Juga:Akibat Kompor Meledak, Ratusan Rumah Hangus Terbakar di Makassar

Horst Liebner, Peneliti Sejarah dan Budaya asal Jerman mengatakan Benteng Somba Opu diserang pada 14 Juni 1669, jam 6 sore. Bunyi sebuah ledakan mahadahsyat menggemparkan Makassar saat itu.

Serangan pasukan Belanda ini diceritakan dalam buku yang berjudul Cornelis Janszoon Speelman. Kata Horst, Speelman adalah komandan Belanda yang memimpin serangan saat itu.

Balatentara gabungan Bugis, Maluku-Buton, dan Belanda yang sudah bertahun-tahun berusaha menaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo. Saat itu berhasil meruntuhkan dinding benteng.

Mereka meledakkan ratusan kilo mesiu yang tersembunyi di dalam sebuah terowongan di bawah tembok Benteng Somba Opu.

Bangunan utama di Benteng Somba Opu. Tempat Raja Sultan Hasanuddin bermukim. Kini bangunan tersebut rusak, tidak terpelihara [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]
Bangunan utama di Benteng Somba Opu. Tempat Raja Sultan Hasanuddin bermukim. Kini bangunan tersebut rusak, tidak terpelihara [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

Ledakan besar itu meruntuhkan tembok yang tingginya hampir mencapai 30 meter. Para prajurit koalisi anti Makassar sekitar 2.000 orang Bugis, 200 orang Maluku, 200 orang Buton dan 100 serdadu dan awak kapal Belanda, berlari menyerang lubang yang sudah terbuka karena ledakan. Padahal, selama ini tembok tersebut tidak dapat dihancurkan.

Baca Juga:Kebakaran di Kompleks Lepping Kota Makassar Hanguskan 95 Unit Rumah

"Tembok itu tidak dapat mereka menghancurkan dengan meriam terbesar pun," ujar Horst, beberapa waktu lalu.

Namun, dari dalam benteng, kata Horst ada sekitar dua kelompok prajurit yang berhasil melompati liang menganga dengan gigih. Mereka mempertahankan celah tersebut agar musuh tak bisa masuk.

Hingga pada malam hari, tidak ada musuh yang berhasil menembus ke dalam Benteng Somba Opu. Serangan yang lebih dahsyat terjadi lagi di pagi hari, esoknya. Namun gagal juga.

Pertempuran pada malam harinya yang paling mengerikan. Suara ledakan tak pernah terdengar bahkan di perang Eropa sekalipun.

"Tetapi bagaimanapun Benteng Somba Opu belum juga dapat ditaklukkan kala itu," ucap Doktor asal University of Leeds itu.

Pada tanggal 17 Juni, hujan deras mulai turun. Selama sepekan, hujan tak juga berhenti. Serangan pun dihentikan sementara.

Lalu pada tanggal 23 Juni di malam hari, Belanda yang dibantu kerajaan Bone di bawah pimpinan raja Arung Palakka dan ksatria Bugis setianya habis kesabarannya. Mereka menyerang lagi dan berhasil menerobos ke dalam benteng.

Meski hujan masih turun dengan deras, mereka mulai membakar dan menjarah gudang, rumah dan istana di dalamnya.

Para pembela benteng berusaha bertahan dengan kukuh di dalam kobaran api reruntuhan benteng. Tetapi akhirnya harus kalah pada sore hari pada tanggal 24 Juni 1669.

Karena terkepung api, Sultan Hasanuddin dan prajurit yang bertahan di ujung tenggara Benteng Somba Opu terpaksa melarikan diri ke benteng Kale Gowa pada pagi hari. Lima hari setelah Somba Opu jatuh ke tangan musuh, Sultan Hasanuddin kemudian turun tahta.

"Benteng itu dihancurkan karena Belanda takut kekuatan kerajaan Gowa," tukasnya.

2. Jalur Perdagangan Internasional

Horst mengatakan Benteng Somba Opu adalah jalur perdagangan internasional pada pertengahan abad ke 16. Benteng ini menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa.

Benteng Somba Opu berkembang menjadi pusat pemukiman bahkan menjadi pusat kota. Penduduk yang tinggal di sekitar benteng tidak hanya merupakan warga Gowa saja, tetapi juga para pedagang dari segala penjuru dunia.

Ada dari Gujarat, Denmark, Inggris, dan Portugis. Pedagang-pedagang tersebut memiliki kantor sendiri bagi kegiatan dagang, mereka juga mendirikan loji.

Kantor-kantor tersebut berlokasi di dekat benteng dan memiliki beberapa tempat yang berfungsi sebagai pasar dan pusat keramaian yang berlokasi di muara Sungai Je'neberang di mana kapal-kapal biasa berlabuh.

Sehingga, Benteng Somba Opu dulunya dikenal sebagai pintu menuju kawasan timur Indonesia. Kota yang terletak di selatan Pulau Sulawesi ini memiliki sejarah yang panjang sebagai bandar niaga yang masyhur.

"Tak heran jika Belanda dan kerajaan lain mengincarnya," jelas Horst.

Tumpukan batu dari dinding Benteng Somba Opu yang dihancurkan Belanda pada tahun 1669 [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]
Tumpukan batu dari dinding Benteng Somba Opu yang dihancurkan Belanda pada tahun 1669 [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

3. Tempat Lahirnya Tokoh Dunia

Tak banyak yang tahu jika Benteng Somba Opu adalah tempat lahirnya tokoh dunia. Salah satunya adalah Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al Makassari Al Bantani atau lebih dikenal Syeikh Yusuf.

Syekh Yusuf adalah seorang ilmuwan, sufi, dan penulis dan komandan pada perang abad ke 17. Ia dinobatkan sebagai pahlawan nasional di era presiden Soeharto.

Presiden Afrika, Nelson Mandela juga pernah menobatkannya sebagai putra Afrika terbaik dan pejuang kemanusiaan. Dikatakan putra Afrika karena Syekh Yusuf pernah diasingkan ke Cape Town, Afrika oleh Belanda.

Di sana, ia tetap berdakwah dan memiliki banyak pengikut. Syekh Yusuf kemudian meninggal di Afrika pada tahun 1699 di umur 72 tahun.

4. Punya 14 Benteng

Di benteng somba opu, ternyata ada 14 benteng lainnya. Salah satunya bernama benteng Panakkukang.

Namun hingga kini, hanya benteng somba opu saja yang tersisa. Itulah kenapa Benteng Somba Opu dikatakan satu-satunya saksi sejarah kerajaan Gowa.

"Bukan hanya Benteng Somba Opu, tetapi juga Benteng Panakukang dan sekian banyak bangunan lainnya yang didirikan di sekeliling pusat kota pada zaman itu ditemukan kembali," ungkapnya.

Beberapa sejahrawan dari Unhas, kata Horst pernah menelusuri lokasi benteng-benteng tersebut dan meneliti arsip-arsip Belanda. Terbuktilah bahwa reruntuhan tembok dan tumpukan batu bata itu adalah sisa pusat kota Makassar pada abad ke-16 dan ke-17.

Saat itu ratusan milyar bantuan dana digelontorkan oleh Pemprov Sulsel untuk meneliti, mengekskavasi, dan akhirnya mulai mendirikan kembali pusat historis kota termasyhur di Sulawesi itu.

"Baru-baru juga Unhas melakukan eksvakasi untuk mencari tulang, namun tidak menemukan apa-apa. Hanya gerabah saja," tambahnya.

5. Persatuan Gowa-Tallo

Awalnya, pada masa Karaeng Tumapa’risi Kallona, Kerajaan Gowa berperang melawan Kerajaan Tallo.
Kerajaan Gowa memenangkan peperangan.

Kedua raja kemudian bersepakat untuk bersekutu. Sehingga kerajaan Gowa kerap disebut juga Kerajaan Gowa-Tallo.

Gowa-Tallo adalah dua kerajaan yang bersekutu, tapi berbeda kerajaan. Keduanya bersatu dalam tali persaudaraan walau punya raja masing-masing.

Dengan perjanjian tersebut, hubungan kekeluargaan di antara dua kerajaan itu terjalin erat. Sumpah yang diucapkan adalah "siapa saja yang mengadu domba Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, maka akan dikutuk dewa".

Sejak saat itulah, hubungan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo tidak terpisahkan. Dalam struktur pemerintahan Kerajaan Gowa, raja Tallo mendampingi raja Gowa.

Raja-raja Tallo selalu merangkap sebagai Pabbicara Butta atau mangkubumi Kerajaan Gowa. Kedudukan ini kedudukan tertinggi setelah raja. Kedudukannya, bisa dikatakan orang kedua setelah raja.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini