SuaraSulsel.id - Mantan Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Sulsel Sari Pudjiastuti menjadi saksi pada sidang lanjutan Agung Sucipto, terdakwa suap proyek infrastruktur di Sulsel.
Sidang digelar di ruangan Harifin Tumpa, Pengadilan Negeri Makassar, Kamis, 27 Mei 2021.
Dalam sidang, Sari tidak mengelak soal uang pemberian dari kontraktor. Uang itu sebagai imbalan terima kasih para kontraktor. Karena sudah dimenangkan pada proses tender.
Dalam persidangan, Sari Pudjiastuti mengaku diberi uang dari empat kontraktor. Mereka adalah Haji Indah Rp 60 juta, Andi Kemal Rp 50 juta, Haji Momo Rp 35 juta, dan Agung Sucipto Rp 60 juta.
Baca Juga:Kasus Suap Nurdin Abdullah, KPK Panggil Empat Saksi
Para kontraktor ini adalah pemenang sejumlah proyek di Sulsel. Diantaranya, pengerjaan Jalan Bua-Rantepao, Jalan Palampang-Munte-Bontolempangan II, Jalan Panampang-Munte-Bontolempangan I, dan beberapa proyek di Kabupaten Wajo.
"Yang terakhir dari Pak Anggu Rp 60 juta. Saya Rp 25 juta, sisanya buat pokja dibagi-bagi," kata Sari Pudjiastuti.
Satu Pokja ada yang Rp 15 juta per orang. Ada juga yang Rp 7 juta per orang. Pokja II, kata Sari kebagian Rp 15 juta. Sementara anggota Pokja VII itu Rp 7 juta per orang.
Semua itu, kata Sari, atas intervensi Gubernur Sulawesi Selatan non aktif Nurdin Abdullah. Tapi para kontraktor ini tetap melalui proses tender, sama seperti perusahaan lainnya.
"Kalau intervensi oleh Gubernur selalu ada. Tapi karena seleksi terbuka, jadi ya tetap harus sesuai kriteria. Beliau (NA) selalu ada titip (kontraktor). Tapi saya mengartikan sebagai perintah," kata Sari.
Baca Juga:Sidang Penyuap Nurdin Abdullah, Saksi Mengaku Diberi Rp 15 Juta
Sari bahkan dipanggil khusus ketika diminta memenangkan perusahaan tertentu. Di tahun 2020 lalu, dia sempat diminta menghadap Nurdin Abdullah, di kediaman pribadinya di kompleks perumahan dosen Unhas.
"Berapa kali dipanggil di perumahan dosen, rumah pribadinya (NA). Melalui ajudan Pak Syamsul Bahri, saya harus datang," tambahnya.
Pemanggilan itu berkaitan dengan proyek dari dana DAK di bulan Februari 2020. Yakni pengerjaan jalan Palampang-Munte-Bontolempangan II. Proyek dengan besaran nilai Rp 16 miliar itu dimenangkan oleh Agung Sucipto.
"Ketika bertemu, pertama, beliau selalu menanyakan progres tender. Kemudian, setelahnya beliau mengatakan kontraktor yang mengerjakan jalan untuk ruas jalan Munte dipercayakan kepada Pak Agung," bebernya.
Agung Sucipto bahkan sudah ditetapkan sebagai pemenang sebelum proses tender dimulai. SK Pokja saat itu juga belum ada.
"Maksudnya sebagai pelaksananya. Saat itu belum tender. Surat tender juga belum. Termasuk SK Pokja saat itu belum ada," tuturnya.
Ia mengaku tidak kenal dengan Agung Sucipto. Saat masih bertugas di Bantaeng, mereka tidak pernah ketemu.
Padahal Agung Sucipto adalah kontraktor langganan Nurdin Abdullah saat masih menjabat sebagai Bupati Bantaeng. Nurdin Abdullah kemudian memberi nomor telpon Agung ke Sari.
"Saya kemudian koordinasi dan menghubungi (Agung) karena tidak kenal," ujarnya.
Sari mengaku menerima uang dari Agung di lobbi Hotel Myko, Jalan Boulevard. Uang itu sudah ditaruh di amplop.
Selain Agung, Nurdin Abdullah juga meminta kontraktor lain dimenangkan pada proyek lain. Seperti PT Eddy Putra Jaya. Mereka ini yang kasih uang ke Sari.
"Ada Haji Indah, Pak Petrus, kemudian Haji Momo, juga ada Andi Kemal. Mereka ada yang datang ke kantor, ada yang lewat telepon. Mereka katanya diminta oleh Pak Nurdin untuk datang ke kantor saya," ujar Sari.
Uang-uang yang diterima Sari kemudian dikembalikan ke KPK sejak bulan Maret. Ia juga mengumpulkan semua Pokja agar uang itu disetor ke KPK.
Sementara, Jaksa Penuntut Umum KPK Zainal Abidin mengatakan para saksi yang dihadirkan mengakui semua perbuatannya. Uang yang diterima sudah dikembalikan ke rekening penanganan perkara KPK untuk dijadikan barang bukti.
"Faktanya memang benar mereka terima. Mereka mengakui menerima uang itu dan sudah dikembalikan. Sekarang disita. Jumlahnya bervariasi," ujar Zainal.
Ia mengaku pengembalian uang tidak menghentikan proses hukum. Namun, JPU saat ini masih fokus ke perkara pokok.
"Nanti kita lihat (apakah berpotensi tersangka), kita cermati dulu. Untuk proses hukumnya kita analisa dulu karena kami fokus di perkara pokoknya dulu," tukasnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing